ZAKAT PROFESI
- Pendahuluan
Zakat adalah ibadah maliyah ijtima’iyah
(ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan dan
kemasyarakatan) dan merupakan salah satu rukun Islam yang mempunyai
status dan fungsi yang penting dalam syariat Islam, sehingga
al-Qur’an menegaskan kewajiban zakat
bersama dengan kewajiban shalat di 82 (delapan puluh dua) tempat.1
Dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 267 Allah
SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar mengeluarkan
zakat dari sebagian hasil usaha yang diperoleh dengan jalan baik dan
halal. Berangkat dari perintah ini, setiap kali membicarakan zakat,
tidak lepas dari bentuk-bentuk zakat untuk hasil usaha masa kini,
seperti zakat profesi. Fiqh yang telah dibuat oleh para ulama
terdahulu tidak banyak membahas hukum modern seperti zakat profesi
ini, karena memang belum pernah ada pada zaman Rasulullah SAW,
para sahabat dan tabi’in. Karena
itu, belum ada sandaran hukum yang kuat.
Selama ini hanya di-qiyas-kan kepada zakat yang sudah ada dan
menemui banyak ke-musykil-an.
Persoalan zakat profesi yang dikenakan kepada para pekerja
profesional ini belum dibahas secara mendalam dan tuntas.
Khususnya di Indonesia, zakat profesi masih diperdebatkan hukumnya
oleh para ulama, terutama seputar wajib atau tidaknya. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) belum menyepakati untuk mengeluarkan fatwa tentang
hal ini.2
Untuk mengkaji dan meneliti tentang zakat profesi lebih lanjut timbul
pertanyaan, sebenarnya apa itu zakat profesi, apa dasar hukumnya,
sehingga profesi perlu dizakati. Dari hal-hal ini, maka pemakalah
akan menjelaskan apa itu zakat profesi dan apa dasar hukumnya.
- Pembahasan
- Pengertian Profesi dan Zakat Profesi
Zakat terbagi menjadi dua yaitu zakat harta dan zakat fitrah.3
Zakat profesi merupakan salah satu dari zakat harta. Di dalam Kamus
Bahasa Indonesia (1982: 702) disebutkan bahwa profesi adalah bidang
pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran
dan sebagainya) tersebut. Profesional adalah yang bersangkutan dengan
profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Sedang
menurut Fachrudin (1996: 23) profesi adalah
segala usaha yang halal yang mendatangkan hasil (uang) yang relatif
banyak dengan cara yang mudah, baik melalui suatu keahlian tertentu
maupun tidak.4
Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa di
antara hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian
kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau pendapatan yang
diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dilakukan secara
sendiri (seperti: profesi dokter, arsitek, ahli hukum, penjahit,
pelukis, dai atau mubaligh) maupun secara bersama-sama (seperti
pegawai pada satu instansi pemerintah, BUMN ataupun BUMD, karyawan
pada BUMS yang mendapatkan gaji relatif begitu tetap).5
Wahbah al-Zuhaili secara khusus
mengemukakan kegiatan penghasilan atau pendapatan yang diterima
seseorang melalui usaha sendiri (wirausaha) seperti dokter, insinyur,
ahli hukum, penjahit dan lain sebagainya. Dan juga yang terkait
dengan pemerintahan (Pegawai Negeri Sipil)
atau pegawai swasta yang mendapatkan gaji atau upah dalam relatif
tetap, seperti sebulan sekali. Penghasilan
atau pendapatan yang semacam ini dalam istilah fiqh dikatakan sebagai
al-Maal al-Mustafaad.6
Al-Maal al-Mustafaad seperti itu wajib dikeluarkan zakatnya
begitu diterima, meskipun kepemilikannya belum sampai setahun.
Hal ini berdasarkan pendapat (Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan Muawiyah)
sebagian tabi’in (al-Zahri, al-Hasan al-Bashri dan Makhul) serta
pendapat Umar bin Abdul Aziz al-Baqir, al-Shadiq, al-Nushin, Daud
al-Zhahiri.7
Secara umum zakat profesi menurut hasil putusan
Tarjih Muhammadiyah adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha
yang halal yang dapat mendatangkan hasil
(uang) relatif banyak dengan cara yang halal dan mudah, baik melalui
keahlian tertentu maupun tidak. Sedangkan dalam pemahaman
Zamzami Ahmad, zakat profesi adalah zakat penghasilan yang didapat
dan diterima dengan jelas yang halal dalam bentuk upah, honor ataupun
gaji.8
Secara lebih tegas lagi, hasil seminar di Damaskus
tahun 1952 menetapkan bahwa hasil usaha profesi adalah sebagai sumber
zakat, karena terdapat alasan (illat) yang menurut ulama fiqh
sah dan ada nishab
yang menjadi landasan wajibnya zakat.9
Dari definisi di atas jelas ada poin-poin yang perlu digarisbawahi
berkaitan dengan pekerja profesi yang dimaksud, yaitu:
- Jenis / usahanya halal
- Menghasilkan uang relatif banyak
- Diperoleh dengan cara yang mudah
- Melalui suatu keahlian tertentu
Apabila ditinjau dari bentuknya usaha profesi tersebut bisa berupa:
- Usaha fisik, seperti pegawai dan artis
- Usaha pikiran, seperti konsultan, desainer dan dokter
- Usaha kedudukan, seperti komisi dan tunjangan jabatan
- Usaha modal, seperti investasi
Sedangkan bila ditinjau dari hasil usahanya profesi itu bisa berupa:
- Hasil yang teratur dan pasti, baik setiap bulan, minggu atau hari, seperti upah pekerja dan gaji pegawai
- Hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti, seperti kontraktor, pengacara, royalti, pengarang, konsultan dan artis
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang termasuk pekerja
profesi itu seperti konsultan, pengacara, komisaris, kontraktor,
investor, broker, dokter, pegawai esselon, pengarang atau pencipta,
artis dan lain sebagainya.10
- Landasan Hukum Kewajiban Zakat Profesi
Semua penghasilan melalui kegiatan profesional tersebut, apabila
telah mencapai nishab (batas perhitungan) maka wajib
dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan nash-nash yang
bersifat umum misalnya firman Allah dalam surat at-Taubah:
103, al-Hasyar: 7, al-Baqarah: 267 yang
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
(QS. Al-Baqarah: 267)
Dan dalam QS. Adz-Dzariyat: 19
Artinya: Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian.
(QS. Adz-Dzariyat: 19)
Yang perlu diperhatikan dari kedua ayat di atas
adalah:
- Dalil-dalil di atas mengandung pengertian umum, yang dengan sendirinya zakat profesi masuk dalam cakupan dalil
- Setiap kekayaan yang dimiliki di dalamnya ada hak fakir miskin yang wajib ditunaikan
- Perintah untuk mengeluarkan dan memungut zakat dari orang-orang kaya sebagai kewajiban tidak dapat ditawar-tawar.11
Sayyid Quthub (wafat 1965 M) dalam tafsirnya Fi Zhilalil-Qur’an
ketika menafsirkan firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 267 menyatakan bahwa nash ini mencakup pula seluruh yang
baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT,
dari dalam dan atas bumi, seperti hasil-hasil pertanian maupun hasil
pertambangan seperti minyak. Karena itu nash ini mencakup
semua harta, baik yang terdapat di zaman Rasulullah SAW, maupun di
zaman sesudahnya. Semuanya wajib dikeluarkan zakatnya dengan
ketentuan dan kadar sebagaimana diterangkan dalam sunah Rasulullah
SAW, baik yang sudah diketahui secara langsung, maupun yang
di-qiyas-kan kepadanya. Al-Qurthubi (wafat 671 H) dalam Tafsir
al-Jaami’li Ahkaam
al-Qur’an menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan kata-kata hakkum ma’lum (hak yang
pasti) pada adz Dzariyaat: 19 adalah zakat yang diwajibkan, artinya
semua harta yang dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika
telah memenuhi persyaratan kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan
zakatnya.12
Sementara itu, para peserta Muktamar Internasional pertama tentang
zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H bertepatan dengan tanggal 30 April
1984 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah
mencapai nishab, meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara
mengeluarkannya. Dalam pasal 11 ayat (2) BAB IV Undang-Undang No.
38/1999 tentang pengelolaan zakat, dikemukakan bahwa harta yang
dikenai zakat adalah a) emas, perak dan uang; b. perdagangan dan
perusahaan; c. hasil pertanian, hasil perkebunan dan hasil perikanan;
d. hasil pertambangan; e. hasil peternakan; f. hasil
pendapatan dan jasa; dan g. rikaz.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pekerjaan apapun
yang halal, baik yang dilakukan sendiri maupun yang terkait dengan
pihak lain, apabila penghasilan dan pendapatan sudah mencapai nishab,
maka wajib dikeluarkan zakatnya. Kesimpulan ini antara lain
berdasarkan: pertama, ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum
yang mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya. Kedua,
berbagai pendapat ulama, meski menggunakan istilah yang berbeda.
Sebagian dengan istilah umum sifatnya yaitu al-amwal, sebagian
secara khusus dengan istilah al-maal al-mustafaad seperti
terdapat dalam fiqh zakat dan al-fiqh al-islamy
wa’adilatuhu. Ketiga, apabila hasil pertanian telah
mencapai nishab tapi hasilnya kurang banyak tetapi harus
berzakat, maka itu sangat adil pula, bila zakat ini juga wajib pada
para dokter, para ahli hukum, konsultan dalam berbagai bidang dan
profesi lainnya. Keempat, sejalan dengan perkembangan zaman
dan kehidupan manusia, khususnya bidang ekonomi, seperti yang telah
terjadi di negara industri saat ini. Penetapan kewajiban zakat
kepadanya menunjukkan betapa hukum Islam sangat aspiratif dan
responsif terhadap perkembangan zaman.13
- Ruang Lingkup Kategori Aset Wajib Zakat Profesi
Ruang lingkup zakat profesi adalah seluruh pendapat yang dihasilkan
seseorang yang besarnya dalam bentuk gaji, upah, honorarium dan nama
lainnya yang sejenis sepanjang pendapatan tersebut tidak merupakan
suatu pengembalian (gield / return) dan harta, investasi, atau
modal.
Pendapatan yang dihasilkan dari profesi tertentu (dokter, pengacara)
masuk dalam ruang lingkup zakat ini. Sepanjang unsur kerja mempunyai
peranan yang paling mendasar dalam menghasilkan pendapatan tersebut.14
Dengan demikian contoh-contoh pendapatan yang termasuk ke dalam
kategori zakat profesi adalah:
- Gaji, upah, honorarium dan nama lainnya (aktif income) dari pendapatan tetap yang mempunyai kesamaan substansi yang dihasilkan oleh orang dari sebuah unit perekonomian swasta ataupun milik pemerintah. Dalam sebuah negara Islam terminologi pendapat ini disebut sebagai al-Urtiyaat (pemberian).15
- Pendapatan yang dihasilkan dari kerja profesi tertentu (pasif income) seperti dokter, akuntan, dan lain sebagainya, pendapatan ini dikenal dengan negara Islam sebagai al-Maal al-Mustafaad (pendapatan tidak tetap).16
- Nisab, Waktu, Kadar dan Cara Mengeluarkan Zakat Profesi
Zakat, gaji, upah, honorarium dan lainnya serta pendapatan kerja
profesi tidak wajib dikeluarkan zakatnya kecuali telah melampaui
batas ketentuan nishab. Para ahli fiqih kontemporer
berpendapat bahwa nishab
zakat profesi di-qiyas-kan (analogikan) dengan nishab
kategori aset wajib zakat keuangan yaitu 85 gram emas atau 200 dirham
perak dan dengan syarat kepemilikannya telah melalui kesempurnaan
masa haul. Sedangkan untuk pendapatan dari hasil kerja profesi
(pasif income) para fuqaha berpendapat nishab
zakatnya dapat di-qiyas-kan (analogikan) dengan zakat hasil
perkebunan dan pertanian yaitu 750 kg beras (5 sha’) dari benih
pertanian dan dalam hal ini tidak disyaratkan kepemilikan satu tahun
(tidak memerlukan masa haul), hanya saja
setelah keluarnya UU No. 17 Tahun 2000 yang diberlakukan mulai tahun
2001 tentang perubahan ketiga atau UU Nomor 17 Tahun 1983 tentang
pajak penghasilan (pasal 4 ayat 3). Maka kewajiban zakat dari
penghasilan profesional jenis ini harus dikalikan sebesar 2,5 %
sbagai tarif untuk akhir masa haul. Hal ini dikarenakan UU
tersebut tidak secara jelas mendefinisikan penghasilan dari aset
wajib zakat yang dimaksud.17
Mengenai nishabnya terdapat perbedaan pendapat diantara para
ulama yakni:
- Pendapat Pertama, mengatakan harus cukup satu tahun, begitu sampai satu tahun baru diperhitungkan zakatnya. Zakat yang diperhitungkan adalah sisa atau kelebihan dari kebutuhan setiap bulannya, sebab pegawai negeri atau swasta menerima gaji sebulan sekali.
- Pendapat Kedua, mengatakan bahwa zakat pencarian dan profesi tidak usah menunggu satu tahun, tetapi setiap bulan bagi pegawai dan setiap mendapat penghasilan bagi kegiatan-kegiatan lainnya, seperti hasil melukis, grup musik setiap kali tampil, grup pelawak dan sebagainya.18
Dalam menentukan kadar zakat profesi ada dua
pendapat, ada yang berpendapat kadar zakatnya 2,5 %, ada juga yang
berpendapat bahwa zakat profesi kadarnya adalah 20 % dari
penghasilannya.
Pendapat zakat profesi 2,5 %, sudah menjadi kesepakatan ulama
dari mulai sahabat, tabi’in dan para fuqaha. Di
antaranya Abdulah Ibnu Masud, Muawiyah, Umar bin Abdul Aziz dan
pemikir Islam modern yaitu Yusuf Qardhawi. Mereka menganalogikan
dengan zakat uang, karena penghasilan berupa gaji, upah dan
honorarium berbentuk uang. Maka tidak ada lagi alasan untuk tidak
menganalogikannya selain emas.
Diungkapkan oleh Qardhawi (1999: 488-489), bahwa penganalogian zakat
profesi kepada pemberian atau gaji yang diberikan oleh khalifah
kepada tentara itu lebih kuat dari penganalogian kepada hasil
pertanian. Mengenai cara pengeluarannya, Qardhawi (1999: 474-475)
bahwa zakat profesi dikeluarkan pada waktu diterima, hal ini
berdasarkan ketentuan hukum syara’ yang berlaku umum.
Akan tetapi, tidak semua yang memiliki profesi dalam penghasilannya
mendapatkan jumlah yang tetap atau dalam jangka waktu yang teratur.
Maka dari itu untuk menentukan kewajiban zakatnya, dikemukakan oleh
Qardhawi (1994: 474), ada dua kemungkinan:
- Memberlakukan nishab (94 gram emas) pada setiap jumlah yang diterima. Maka, penghasilan yang mencapai nishab wajib dikenai zakat dan yang tidak mencapai nishab tidak wajib zakat.
- Mengumpulkan penghasilan berkali-kali sampai mencapai nishab (94 gram emas), dengan syarat tidak melebihi batas hawi. Akan tetapi jika melewati batas hawi maka tidak wajib zakat.
Dari kedua alternatif di atas, terlihat pendapat pertama lebih
mendekati kepada kesamaan dan keadilan sosial. Karena membebaskan
orang-orang yang mempunyai penghasilan kecil dari kewajiban zakat
profesi dan membatasi kewajiban zakat hanya atas pegawai yang
tergolong tinggi dan memperoleh penghasilan dengan cara mudah.19
Pendapat zakat profesi 20 %, pendapat ini timbul menggugat
ketidakpuasan kepada pendapat yang mewajibkan zakat profesi hanya
sebesar 2,5 %. Ketidakpuasan itu karena melihat para pelaku ekonomi
modern, konglomerat dan sebagainya yang dengan cepat dan mudah
memperoleh penghasilan yang besar.
Sebagai contoh kecil, seorang broker bisa memperoleh rizki
dalam jumlah raksasa dalam sekejap lewat profesinya seperti halnya
orang menggali tanah kemudian mendapatkan harta karun (rikaz).
Hal ini tentu tidak sesuai dengan spirit keadilan Islam, zakat
terhadap berbagai profesi modern, yang bersifat
making-money, tetap 2,5 % saja.
Berdasarkan ketimpangan tersebut, Amien (1988)
menyarankan agar presentase 2,5 % itu ditinjau lagi, dan kalau perlu
ditingkatkan misalnya sampai 10 % (usyur)
atau 20 % (khumas)
ketentuan inipun bukan untuk semua profesi, melainkan khusus untuk
profesi yang mudah mendatangkan rizki.
Apabila dibandingkan antara zakat hasil pertanian dengan zakat
profesi, maka terlihat adanya ketidak adilan sosial. Sebab, pekerjaan
petani merupakan pekerjaan berat, setidak-tidaknya secara fisik. Di
samping itu, petani harus langsung membayar zakat begitu panen
selesai (QS. al-An’am (6): 141).
Sehingga, tidak adil bila petani yang bekerja keras harus membayar 5
% atau 10 % sedangkan bagi para profesi modern yang begitu gampang
memperoleh uang zakatnya hanya 2,5 % saja.
Dari contoh yang dikemukakan tadi, terlihat bahwa pengeluaran zakat
profesi hanya dikenakan kepada pegawai atau pekerja yang telah
memperoleh penghasilan lebih dan dengan cara mudah jauh di atas
rata-rata pendapatan masyarakat. Kepada yang berpenghasilan sedang,
tidaklah dikenakan zakat profesi karena cukup hanya untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari saja. tetapi, apabila tiba-tiba ia memperoleh
penghasilan yang tidak terduga dan melebihi kebutuhannya, maka zakat
yang harus dikeluarkan 20 % dari penghasilan tak terduga itu.
Dengan demikian, para konsultan, penjual jasa, konglomerat, dan
lainnya wajib mengeluarkan penghasilan lebihnya sebesar 20 % sebagai
ibadah dan santunan kepada kaum mustadh’ affin. Akhirnya,
khumus atau perlimaan bukan saja menyelesaikan ke-musykil-an
fiqh tetapi juga menegakan keadilan Islam.20
- Hikmah Zakat Profesi
Wahbah al-Zuhayly
menyatakan bahwa adanya kesenjangan antara yang satu dengan yang
lainnya, baik dalam perolehan rizqi, status dan perolehan mata
pencaharian, adalah suatu yang nyata, sebagai sunnatullah (hukum
alam). Sebagaimana dijelaskan dalam QS. an-Nahl
(1): 17) “Dan Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian
yang lain dalam rizqi…”. Karena itu Allah mewajibkan kepada
yang kaya untuk memberi kepada yang miskin sebagai kewajiban, bukan
sunnah dan juga bukan pemberian biasa. Islam menganjurkan kepada
pemeluknya agar supaya mencari rizqi sebanyak-banyaknya dengan cara
yang halal. Karena dengan demikian, mereka yang kaya dapat membantu
kepada yang fakir dan miskin, baik dengan cara yang wajib seperti
zakat, maupun cara yang sunah seperti shadaqah dan infaq.21
Pada dasarnya hikmah zakat profesi itu sama dengan hikmah yang ada
pada zakat umumnya, yaitu:
Hikmah yang kembali kepada pemberi zakat di antaranya ialah:
- Zakat adalah terapi terbaik untuk menghilangkan hubbu ad-dunya (cinta dunia) dari dalam hati
- Zakat adalah sarana menuju ridho Allah
- Menghilangkan sifat keras hati (qaswat al-qulub)
- Mendidik jiwa untuk merasakan kemiskinan sesama manusia
- Membuat si kaya yang memberi zakat dicintai si fakir
- Menjadikan si pemberi dipuji di dunia dan akhirat
- Shalat melahirkan kebahagiaan badaniyyah, iman melahirkan kebahagiaan ruhaniyah, sedangkan zakat mewujudkan kebahagiaan ijtima’iyyah (masyarakat).
Adapun faedah yang didapat si penerima zakat adalah:
- Membantu menunaikan (menopang) kebutuhan
- Allah menciptakan harta sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan, bukan untuk disimpan dalam jangka waktu yang panjang. Dengan memberikan kelebihan harta maka harta tersebut menjadi lebih dinamis.
- Mencegah si miskin berbuat dosa, misalnya mencuri dan menipu
- Si miskin pada awalnya hanya memiliki sifat sabar, namun setelah ia menerima zakat, ia juga akan menjadi orang yang bersyukur
- Zakat yang diterima oleh si fakir atau si miskin akan menghindarkannya dari cacian dan hinaan di dunia dan akan menyelamatkannya dari nereka di akhirat.22
- Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa zakat profesi merupakan
zakat yang dikeluarkan dari usaha yang halal yang dapat mendatangkan
hasil (uang), relatif banyak dengan cara yang halal dan mudah, baik
melalui keahlian tertentu maupun tidak.
Zakat profesi wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai batas
nash. Sedangkan batas pengeluarannya ada dua pendapat yaitu
pendapat zakat profesi 2,5 % karena sudah menjadi kesepakatan ulama,
dan pendapat 20 % dengan alasan penghasilan yang diperoleh melebihi
rata-rata atau penghasilan tak terduga seperti konglomerat bila
disamakan dengan pegawai biasa yang gajinya sedang itu menimbulkan
ketidak adilan.
Meskipun merupakan hasil ijtihad para ulama sekarang, namun rasa
keadilan, serta hikmah adanya kewajiban zakat, mengantar banyak ulama
masa kini memasukan profesi. Profesio tersebut dalam pengertian
“hasil usaha kamu yang baik-baik”. Dengan harapan zakat akan
membersihkan dan menyucikan harta dan menambah rasa syukur terhadap
Allah atas rizal yang telah diberikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar, Problematika
Pelaksanaan Fiqh Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Muhammad, Zakat Profesi: Wacana
Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer, Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002.
Mahmud al-Ba’ly,
Abdul al-Hamid,
Ekonomi Zakat, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006.
Suyitno (ed), Anatomi Fiqh Zakat,
Sumatra Selatan: Pustaka Pelajar, 2005.
Mufraini, Arif, Akuntansi dan
Manajemen Zakat: Mengomunikasi Kesadaran dan Membangun Jaringan,
Jakarta: Kencana, 2006.
Wahbah al-Zuhayiy,
Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2000.
Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam
Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani,
2002.
Hasan, Ali, Zakat dan Infak:
Salah Satu Solusi Mengatasi Problem Sosial di Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Rofiq, Ahmad, Fiqh Kontekstual:
Dari Normtif Ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Hasan, Abd. Kholiq, Tafsir
Ibadah, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi
Aksara, 2008
1
Lihat, Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 37.
2
Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer
(Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), hlm. 3.
4
Muhammad, Zakat., hlm. 58.
5
Suyitno, et all, Anatomi Fiqh Zakat, (Sumatra Selatan:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 50.
6
Al Maal al-Mustafaad adalah pendapatan
yang dihasilkan seseorang yang bukan berasal dari hartanya sendiri
ataupun tingkat pengembalian dari aset yang diinvestasikan akan
tetapi pendapatan yang dihasilkan secara bebas dan berdiri sendiri
seperti upah melakukan sebuah keterampilan kerja. Lihat Arif
Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan
Kesadaran dan Membangun Jaringan
(Surakarta: Kencana, 2006), hlm. 75.
7
Wahbah Al-Zuhayiy, Zakat Kajian Berbagai Mazhab (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 275.
8
Suyitno, et. All., Anatomi., hlm. 50.
9
Ibid, hlm. 51.
10
Muhammad, Zakat Profesi, hlm. 58-59.
11
Suyitno, et.all., Anatomi., hlm. 53-54.
12
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta:
Gema Insani, 2002), hlm. 94-95.
13
Lebih Jelasnya lihat ibid, hlm. 95-96.
15
Al U’tiyat adalah segala sesuatu yang didapatkan seseorang dari
kas negara ataupun lainnya sebagai ganti dari kerja yang dilakukan
orang tersebut atau kerja kepegawaian di kantor-kantor atau unit
usaha milik negara.
16
Arif Mufraini, Akuntansi,, hlm. 74-75.
17
Ibid, hlm. 75-76.
18
Ali Hasan, Zakat dan Infak: Salah Satu
Solusi Mengatasi Problem Sosial di Indonesia (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), hlm. 73-77.
19
Muhammad, Zakat Profesi., hlm. 66-67.
20
Ibid, hlm. 68-72.
21
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: dari normtif ke pemaknaan sosial
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 301.
22
Abd. Kholiq Hasan, Tafsir Ibadah (Yogyakarta: PT LKiS
Pelangi Aksara, 2008), hlm. 152.