ZAKAT PROFESI

Written By IMM Tarbiyah on Jumat, 16 September 2011 | 18.04


ZAKAT PROFESI

  1. Pendahuluan
Zakat adalah ibadah maliyah ijtima’iyah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan dan kemasyarakatan) dan merupakan salah satu rukun Islam yang mempunyai status dan fungsi yang penting dalam syariat Islam, sehingga al-Qur’an menegaskan kewajiban zakat bersama dengan kewajiban shalat di 82 (delapan puluh dua) tempat.1
Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 267 Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar mengeluarkan zakat dari sebagian hasil usaha yang diperoleh dengan jalan baik dan halal. Berangkat dari perintah ini, setiap kali membicarakan zakat, tidak lepas dari bentuk-bentuk zakat untuk hasil usaha masa kini, seperti zakat profesi. Fiqh yang telah dibuat oleh para ulama terdahulu tidak banyak membahas hukum modern seperti zakat profesi ini, karena memang belum pernah ada pada zaman Rasulullah SAW, para sahabat dan tabi’in. Karena itu, belum ada sandaran hukum yang kuat. Selama ini hanya di-qiyas-kan kepada zakat yang sudah ada dan menemui banyak ke-musykil-an.
Persoalan zakat profesi yang dikenakan kepada para pekerja profesional ini belum dibahas secara mendalam dan tuntas. Khususnya di Indonesia, zakat profesi masih diperdebatkan hukumnya oleh para ulama, terutama seputar wajib atau tidaknya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum menyepakati untuk mengeluarkan fatwa tentang hal ini.2 Untuk mengkaji dan meneliti tentang zakat profesi lebih lanjut timbul pertanyaan, sebenarnya apa itu zakat profesi, apa dasar hukumnya, sehingga profesi perlu dizakati. Dari hal-hal ini, maka pemakalah akan menjelaskan apa itu zakat profesi dan apa dasar hukumnya.


  1. Pembahasan
    1. Pengertian Profesi dan Zakat Profesi
Zakat terbagi menjadi dua yaitu zakat harta dan zakat fitrah.3 Zakat profesi merupakan salah satu dari zakat harta. Di dalam Kamus Bahasa Indonesia (1982: 702) disebutkan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran dan sebagainya) tersebut. Profesional adalah yang bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Sedang menurut Fachrudin (1996: 23) profesi adalah segala usaha yang halal yang mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, baik melalui suatu keahlian tertentu maupun tidak.4
Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa di antara hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau pendapatan yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dilakukan secara sendiri (seperti: profesi dokter, arsitek, ahli hukum, penjahit, pelukis, dai atau mubaligh) maupun secara bersama-sama (seperti pegawai pada satu instansi pemerintah, BUMN ataupun BUMD, karyawan pada BUMS yang mendapatkan gaji relatif begitu tetap).5
Wahbah al-Zuhaili secara khusus mengemukakan kegiatan penghasilan atau pendapatan yang diterima seseorang melalui usaha sendiri (wirausaha) seperti dokter, insinyur, ahli hukum, penjahit dan lain sebagainya. Dan juga yang terkait dengan pemerintahan (Pegawai Negeri Sipil) atau pegawai swasta yang mendapatkan gaji atau upah dalam relatif tetap, seperti sebulan sekali. Penghasilan atau pendapatan yang semacam ini dalam istilah fiqh dikatakan sebagai al-Maal al-Mustafaad.6 Al-Maal al-Mustafaad seperti itu wajib dikeluarkan zakatnya begitu diterima, meskipun kepemilikannya belum sampai setahun. Hal ini berdasarkan pendapat (Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan Muawiyah) sebagian tabi’in (al-Zahri, al-Hasan al-Bashri dan Makhul) serta pendapat Umar bin Abdul Aziz al-Baqir, al-Shadiq, al-Nushin, Daud al-Zhahiri.7
Secara umum zakat profesi menurut hasil putusan Tarjih Muhammadiyah adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) relatif banyak dengan cara yang halal dan mudah, baik melalui keahlian tertentu maupun tidak. Sedangkan dalam pemahaman Zamzami Ahmad, zakat profesi adalah zakat penghasilan yang didapat dan diterima dengan jelas yang halal dalam bentuk upah, honor ataupun gaji.8
Secara lebih tegas lagi, hasil seminar di Damaskus tahun 1952 menetapkan bahwa hasil usaha profesi adalah sebagai sumber zakat, karena terdapat alasan (illat) yang menurut ulama fiqh sah dan ada nishab yang menjadi landasan wajibnya zakat.9
Dari definisi di atas jelas ada poin-poin yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan pekerja profesi yang dimaksud, yaitu:
  1. Jenis / usahanya halal
  2. Menghasilkan uang relatif banyak
  3. Diperoleh dengan cara yang mudah
  4. Melalui suatu keahlian tertentu
Apabila ditinjau dari bentuknya usaha profesi tersebut bisa berupa:
  1. Usaha fisik, seperti pegawai dan artis
  2. Usaha pikiran, seperti konsultan, desainer dan dokter
  3. Usaha kedudukan, seperti komisi dan tunjangan jabatan
  4. Usaha modal, seperti investasi
Sedangkan bila ditinjau dari hasil usahanya profesi itu bisa berupa:
  1. Hasil yang teratur dan pasti, baik setiap bulan, minggu atau hari, seperti upah pekerja dan gaji pegawai
  2. Hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti, seperti kontraktor, pengacara, royalti, pengarang, konsultan dan artis
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang termasuk pekerja profesi itu seperti konsultan, pengacara, komisaris, kontraktor, investor, broker, dokter, pegawai esselon, pengarang atau pencipta, artis dan lain sebagainya.10
    1. Landasan Hukum Kewajiban Zakat Profesi
Semua penghasilan melalui kegiatan profesional tersebut, apabila telah mencapai nishab (batas perhitungan) maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum misalnya firman Allah dalam surat at-Taubah: 103, al-Hasyar: 7, al-Baqarah: 267 yang
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. Al-Baqarah: 267)

Dan dalam QS. Adz-Dzariyat: 19

Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (QS. Adz-Dzariyat: 19)

Yang perlu diperhatikan dari kedua ayat di atas adalah:
  1. Dalil-dalil di atas mengandung pengertian umum, yang dengan sendirinya zakat profesi masuk dalam cakupan dalil
  2. Setiap kekayaan yang dimiliki di dalamnya ada hak fakir miskin yang wajib ditunaikan
  3. Perintah untuk mengeluarkan dan memungut zakat dari orang-orang kaya sebagai kewajiban tidak dapat ditawar-tawar.11
Sayyid Quthub (wafat 1965 M) dalam tafsirnya Fi Zhilalil-Qur’an ketika menafsirkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 267 menyatakan bahwa nash ini mencakup pula seluruh yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT, dari dalam dan atas bumi, seperti hasil-hasil pertanian maupun hasil pertambangan seperti minyak. Karena itu nash ini mencakup semua harta, baik yang terdapat di zaman Rasulullah SAW, maupun di zaman sesudahnya. Semuanya wajib dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan dan kadar sebagaimana diterangkan dalam sunah Rasulullah SAW, baik yang sudah diketahui secara langsung, maupun yang di-qiyas-kan kepadanya. Al-Qurthubi (wafat 671 H) dalam Tafsir al-Jaami’li Ahkaam al-Qur’an menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata hakkum ma’lum (hak yang pasti) pada adz Dzariyaat: 19 adalah zakat yang diwajibkan, artinya semua harta yang dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika telah memenuhi persyaratan kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan zakatnya.12
Sementara itu, para peserta Muktamar Internasional pertama tentang zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H bertepatan dengan tanggal 30 April 1984 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nishab, meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya. Dalam pasal 11 ayat (2) BAB IV Undang-Undang No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat, dikemukakan bahwa harta yang dikenai zakat adalah a) emas, perak dan uang; b. perdagangan dan perusahaan; c. hasil pertanian, hasil perkebunan dan hasil perikanan; d. hasil pertambangan; e. hasil peternakan; f. hasil pendapatan dan jasa; dan g. rikaz.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pekerjaan apapun yang halal, baik yang dilakukan sendiri maupun yang terkait dengan pihak lain, apabila penghasilan dan pendapatan sudah mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Kesimpulan ini antara lain berdasarkan: pertama, ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya. Kedua, berbagai pendapat ulama, meski menggunakan istilah yang berbeda. Sebagian dengan istilah umum sifatnya yaitu al-amwal, sebagian secara khusus dengan istilah al-maal al-mustafaad seperti terdapat dalam fiqh zakat dan al-fiqh al-islamy wa’adilatuhu. Ketiga, apabila hasil pertanian telah mencapai nishab tapi hasilnya kurang banyak tetapi harus berzakat, maka itu sangat adil pula, bila zakat ini juga wajib pada para dokter, para ahli hukum, konsultan dalam berbagai bidang dan profesi lainnya. Keempat, sejalan dengan perkembangan zaman dan kehidupan manusia, khususnya bidang ekonomi, seperti yang telah terjadi di negara industri saat ini. Penetapan kewajiban zakat kepadanya menunjukkan betapa hukum Islam sangat aspiratif dan responsif terhadap perkembangan zaman.13
    1. Ruang Lingkup Kategori Aset Wajib Zakat Profesi
Ruang lingkup zakat profesi adalah seluruh pendapat yang dihasilkan seseorang yang besarnya dalam bentuk gaji, upah, honorarium dan nama lainnya yang sejenis sepanjang pendapatan tersebut tidak merupakan suatu pengembalian (gield / return) dan harta, investasi, atau modal.
Pendapatan yang dihasilkan dari profesi tertentu (dokter, pengacara) masuk dalam ruang lingkup zakat ini. Sepanjang unsur kerja mempunyai peranan yang paling mendasar dalam menghasilkan pendapatan tersebut.14
Dengan demikian contoh-contoh pendapatan yang termasuk ke dalam kategori zakat profesi adalah:
  1. Gaji, upah, honorarium dan nama lainnya (aktif income) dari pendapatan tetap yang mempunyai kesamaan substansi yang dihasilkan oleh orang dari sebuah unit perekonomian swasta ataupun milik pemerintah. Dalam sebuah negara Islam terminologi pendapat ini disebut sebagai al-Urtiyaat (pemberian).15
  2. Pendapatan yang dihasilkan dari kerja profesi tertentu (pasif income) seperti dokter, akuntan, dan lain sebagainya, pendapatan ini dikenal dengan negara Islam sebagai al-Maal al-Mustafaad (pendapatan tidak tetap).16
    1. Nisab, Waktu, Kadar dan Cara Mengeluarkan Zakat Profesi
Zakat, gaji, upah, honorarium dan lainnya serta pendapatan kerja profesi tidak wajib dikeluarkan zakatnya kecuali telah melampaui batas ketentuan nishab. Para ahli fiqih kontemporer berpendapat bahwa nishab zakat profesi di-qiyas-kan (analogikan) dengan nishab kategori aset wajib zakat keuangan yaitu 85 gram emas atau 200 dirham perak dan dengan syarat kepemilikannya telah melalui kesempurnaan masa haul. Sedangkan untuk pendapatan dari hasil kerja profesi (pasif income) para fuqaha berpendapat nishab zakatnya dapat di-qiyas-kan (analogikan) dengan zakat hasil perkebunan dan pertanian yaitu 750 kg beras (5 sha’) dari benih pertanian dan dalam hal ini tidak disyaratkan kepemilikan satu tahun (tidak memerlukan masa haul), hanya saja setelah keluarnya UU No. 17 Tahun 2000 yang diberlakukan mulai tahun 2001 tentang perubahan ketiga atau UU Nomor 17 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan (pasal 4 ayat 3). Maka kewajiban zakat dari penghasilan profesional jenis ini harus dikalikan sebesar 2,5 % sbagai tarif untuk akhir masa haul. Hal ini dikarenakan UU tersebut tidak secara jelas mendefinisikan penghasilan dari aset wajib zakat yang dimaksud.17
Mengenai nishabnya terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama yakni:
  1. Pendapat Pertama, mengatakan harus cukup satu tahun, begitu sampai satu tahun baru diperhitungkan zakatnya. Zakat yang diperhitungkan adalah sisa atau kelebihan dari kebutuhan setiap bulannya, sebab pegawai negeri atau swasta menerima gaji sebulan sekali.
  2. Pendapat Kedua, mengatakan bahwa zakat pencarian dan profesi tidak usah menunggu satu tahun, tetapi setiap bulan bagi pegawai dan setiap mendapat penghasilan bagi kegiatan-kegiatan lainnya, seperti hasil melukis, grup musik setiap kali tampil, grup pelawak dan sebagainya.18
Dalam menentukan kadar zakat profesi ada dua pendapat, ada yang berpendapat kadar zakatnya 2,5 %, ada juga yang berpendapat bahwa zakat profesi kadarnya adalah 20 % dari penghasilannya.
Pendapat zakat profesi 2,5 %, sudah menjadi kesepakatan ulama dari mulai sahabat, tabi’in dan para fuqaha. Di antaranya Abdulah Ibnu Masud, Muawiyah, Umar bin Abdul Aziz dan pemikir Islam modern yaitu Yusuf Qardhawi. Mereka menganalogikan dengan zakat uang, karena penghasilan berupa gaji, upah dan honorarium berbentuk uang. Maka tidak ada lagi alasan untuk tidak menganalogikannya selain emas.
Diungkapkan oleh Qardhawi (1999: 488-489), bahwa penganalogian zakat profesi kepada pemberian atau gaji yang diberikan oleh khalifah kepada tentara itu lebih kuat dari penganalogian kepada hasil pertanian. Mengenai cara pengeluarannya, Qardhawi (1999: 474-475) bahwa zakat profesi dikeluarkan pada waktu diterima, hal ini berdasarkan ketentuan hukum syara’ yang berlaku umum.
Akan tetapi, tidak semua yang memiliki profesi dalam penghasilannya mendapatkan jumlah yang tetap atau dalam jangka waktu yang teratur. Maka dari itu untuk menentukan kewajiban zakatnya, dikemukakan oleh Qardhawi (1994: 474), ada dua kemungkinan:
  1. Memberlakukan nishab (94 gram emas) pada setiap jumlah yang diterima. Maka, penghasilan yang mencapai nishab wajib dikenai zakat dan yang tidak mencapai nishab tidak wajib zakat.
  2. Mengumpulkan penghasilan berkali-kali sampai mencapai nishab (94 gram emas), dengan syarat tidak melebihi batas hawi. Akan tetapi jika melewati batas hawi maka tidak wajib zakat.
Dari kedua alternatif di atas, terlihat pendapat pertama lebih mendekati kepada kesamaan dan keadilan sosial. Karena membebaskan orang-orang yang mempunyai penghasilan kecil dari kewajiban zakat profesi dan membatasi kewajiban zakat hanya atas pegawai yang tergolong tinggi dan memperoleh penghasilan dengan cara mudah.19
Pendapat zakat profesi 20 %, pendapat ini timbul menggugat ketidakpuasan kepada pendapat yang mewajibkan zakat profesi hanya sebesar 2,5 %. Ketidakpuasan itu karena melihat para pelaku ekonomi modern, konglomerat dan sebagainya yang dengan cepat dan mudah memperoleh penghasilan yang besar.
Sebagai contoh kecil, seorang broker bisa memperoleh rizki dalam jumlah raksasa dalam sekejap lewat profesinya seperti halnya orang menggali tanah kemudian mendapatkan harta karun (rikaz). Hal ini tentu tidak sesuai dengan spirit keadilan Islam, zakat terhadap berbagai profesi modern, yang bersifat making-money, tetap 2,5 % saja.
Berdasarkan ketimpangan tersebut, Amien (1988) menyarankan agar presentase 2,5 % itu ditinjau lagi, dan kalau perlu ditingkatkan misalnya sampai 10 % (usyur) atau 20 % (khumas) ketentuan inipun bukan untuk semua profesi, melainkan khusus untuk profesi yang mudah mendatangkan rizki.
Apabila dibandingkan antara zakat hasil pertanian dengan zakat profesi, maka terlihat adanya ketidak adilan sosial. Sebab, pekerjaan petani merupakan pekerjaan berat, setidak-tidaknya secara fisik. Di samping itu, petani harus langsung membayar zakat begitu panen selesai (QS. al-An’am (6): 141). Sehingga, tidak adil bila petani yang bekerja keras harus membayar 5 % atau 10 % sedangkan bagi para profesi modern yang begitu gampang memperoleh uang zakatnya hanya 2,5 % saja.
Dari contoh yang dikemukakan tadi, terlihat bahwa pengeluaran zakat profesi hanya dikenakan kepada pegawai atau pekerja yang telah memperoleh penghasilan lebih dan dengan cara mudah jauh di atas rata-rata pendapatan masyarakat. Kepada yang berpenghasilan sedang, tidaklah dikenakan zakat profesi karena cukup hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. tetapi, apabila tiba-tiba ia memperoleh penghasilan yang tidak terduga dan melebihi kebutuhannya, maka zakat yang harus dikeluarkan 20 % dari penghasilan tak terduga itu.
Dengan demikian, para konsultan, penjual jasa, konglomerat, dan lainnya wajib mengeluarkan penghasilan lebihnya sebesar 20 % sebagai ibadah dan santunan kepada kaum mustadh’ affin. Akhirnya, khumus atau perlimaan bukan saja menyelesaikan ke-musykil-an fiqh tetapi juga menegakan keadilan Islam.20
    1. Hikmah Zakat Profesi
Wahbah al-Zuhayly menyatakan bahwa adanya kesenjangan antara yang satu dengan yang lainnya, baik dalam perolehan rizqi, status dan perolehan mata pencaharian, adalah suatu yang nyata, sebagai sunnatullah (hukum alam). Sebagaimana dijelaskan dalam QS. an-Nahl (1): 17) “Dan Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dalam rizqi…”. Karena itu Allah mewajibkan kepada yang kaya untuk memberi kepada yang miskin sebagai kewajiban, bukan sunnah dan juga bukan pemberian biasa. Islam menganjurkan kepada pemeluknya agar supaya mencari rizqi sebanyak-banyaknya dengan cara yang halal. Karena dengan demikian, mereka yang kaya dapat membantu kepada yang fakir dan miskin, baik dengan cara yang wajib seperti zakat, maupun cara yang sunah seperti shadaqah dan infaq.21
Pada dasarnya hikmah zakat profesi itu sama dengan hikmah yang ada pada zakat umumnya, yaitu:
Hikmah yang kembali kepada pemberi zakat di antaranya ialah:
  1. Zakat adalah terapi terbaik untuk menghilangkan hubbu ad-dunya (cinta dunia) dari dalam hati
  2. Zakat adalah sarana menuju ridho Allah
  3. Menghilangkan sifat keras hati (qaswat al-qulub)
  4. Mendidik jiwa untuk merasakan kemiskinan sesama manusia
  5. Membuat si kaya yang memberi zakat dicintai si fakir
  6. Menjadikan si pemberi dipuji di dunia dan akhirat
  7. Shalat melahirkan kebahagiaan badaniyyah, iman melahirkan kebahagiaan ruhaniyah, sedangkan zakat mewujudkan kebahagiaan ijtima’iyyah (masyarakat).
Adapun faedah yang didapat si penerima zakat adalah:
  1. Membantu menunaikan (menopang) kebutuhan
  2. Allah menciptakan harta sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan, bukan untuk disimpan dalam jangka waktu yang panjang. Dengan memberikan kelebihan harta maka harta tersebut menjadi lebih dinamis.
  3. Mencegah si miskin berbuat dosa, misalnya mencuri dan menipu
  4. Si miskin pada awalnya hanya memiliki sifat sabar, namun setelah ia menerima zakat, ia juga akan menjadi orang yang bersyukur
  5. Zakat yang diterima oleh si fakir atau si miskin akan menghindarkannya dari cacian dan hinaan di dunia dan akan menyelamatkannya dari nereka di akhirat.22

  1. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa zakat profesi merupakan zakat yang dikeluarkan dari usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang), relatif banyak dengan cara yang halal dan mudah, baik melalui keahlian tertentu maupun tidak.
Zakat profesi wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai batas nash. Sedangkan batas pengeluarannya ada dua pendapat yaitu pendapat zakat profesi 2,5 % karena sudah menjadi kesepakatan ulama, dan pendapat 20 % dengan alasan penghasilan yang diperoleh melebihi rata-rata atau penghasilan tak terduga seperti konglomerat bila disamakan dengan pegawai biasa yang gajinya sedang itu menimbulkan ketidak adilan.
Meskipun merupakan hasil ijtihad para ulama sekarang, namun rasa keadilan, serta hikmah adanya kewajiban zakat, mengantar banyak ulama masa kini memasukan profesi. Profesio tersebut dalam pengertian “hasil usaha kamu yang baik-baik”. Dengan harapan zakat akan membersihkan dan menyucikan harta dan menambah rasa syukur terhadap Allah atas rizal yang telah diberikannya.
DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.

Mahmud al-Ba’ly, Abdul al-Hamid, Ekonomi Zakat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Suyitno (ed), Anatomi Fiqh Zakat, Sumatra Selatan: Pustaka Pelajar, 2005.

Mufraini, Arif, Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasi Kesadaran dan Membangun Jaringan, Jakarta: Kencana, 2006.

Wahbah al-Zuhayiy, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.

Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002.

Hasan, Ali, Zakat dan Infak: Salah Satu Solusi Mengatasi Problem Sosial di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Rofiq, Ahmad, Fiqh Kontekstual: Dari Normtif Ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Hasan, Abd. Kholiq, Tafsir Ibadah, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2008
1 Lihat, Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 37.
2 Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), hlm. 3.
3 Abdul al-Hamid Mahmud al-Ba’ly, Ekonomi Zakat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 3.
4 Muhammad, Zakat., hlm. 58.
5 Suyitno, et all, Anatomi Fiqh Zakat, (Sumatra Selatan: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 50.
6 Al Maal al-Mustafaad adalah pendapatan yang dihasilkan seseorang yang bukan berasal dari hartanya sendiri ataupun tingkat pengembalian dari aset yang diinvestasikan akan tetapi pendapatan yang dihasilkan secara bebas dan berdiri sendiri seperti upah melakukan sebuah keterampilan kerja. Lihat Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan (Surakarta: Kencana, 2006), hlm. 75.
7 Wahbah Al-Zuhayiy, Zakat Kajian Berbagai Mazhab (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 275.
8 Suyitno, et. All., Anatomi., hlm. 50.
9 Ibid, hlm. 51.
10 Muhammad, Zakat Profesi, hlm. 58-59.
11 Suyitno, et.all., Anatomi., hlm. 53-54.
12 Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm. 94-95.
13 Lebih Jelasnya lihat ibid, hlm. 95-96.
14 Arif Mufraini, Akuntansi., hlm. 74.
15 Al U’tiyat adalah segala sesuatu yang didapatkan seseorang dari kas negara ataupun lainnya sebagai ganti dari kerja yang dilakukan orang tersebut atau kerja kepegawaian di kantor-kantor atau unit usaha milik negara.
16 Arif Mufraini, Akuntansi,, hlm. 74-75.
17 Ibid, hlm. 75-76.
18 Ali Hasan, Zakat dan Infak: Salah Satu Solusi Mengatasi Problem Sosial di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 73-77.
19 Muhammad, Zakat Profesi., hlm. 66-67.
20 Ibid, hlm. 68-72.
21 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: dari normtif ke pemaknaan sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 301.
22 Abd. Kholiq Hasan, Tafsir Ibadah (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2008), hlm. 152.

Ditulis Oleh : IMM Tarbiyah ~IMM Komisariat Dakwah

IMM.Dakwah Anda sedang membaca artikel berjudul ZAKAT PROFESI.

Ditulis oleh IMM Komisariat Dakwah.

Silahkan manfaatkan dengan bijak.

Blog, Updated at: 18.04