SUMPAH (Tafsir surat An-Nahl ayat 91)

Written By IMM Tarbiyah on Rabu, 28 September 2011 | 09.43

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu Telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.
A.    Pendahuluan
Sumpah merupakan pernyataan yang disertai tegat melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenaran dan berani menderita jika pernyataan itu benar. Orang yang bersumpah wajib baginya untuk menempati tersebut baik akan melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu.
Kemudian sumpah adalah menguatkan pernyataan dengan menyebut nama Allah SWT atau dengan sifat-sifatNya, jadi jika tidak bersumpah tidak sah. Artinya tidak wajib ditepati dan tidak wajib membayar denda.
B.    Makna Mufradat
Wa aufuu    : dan tepatilah kalian
Bi’ahdillah    : dengan janji Allah
Idzaa ‘ahadtum: apabila kalian berjanji
Tanqudhuu    : kalian melanggar
Taukiiduhaa    : peneguhan
Kafiilan    : jaminan
C.    Asbabun Nuzul
Diriwayatkan dari ibnu abi hatim bahwasanya ayat ini turun berkenaan dengan sumpah janji dari orang-orang yang telah mengingkari janjinya sikap mereka itu tidak ubahnya seperti saidah as-Sa’diyah seseorang yang gila yang pekerjaannya hany mengurai-urai rambut dan daun kurma, maka dari itu turunlah ayat ini.
D.    Muhasabah Ayat
Oleh karena pada ayat yang dahulu telah mulai tersebut perkara mengharamkan barang yang halal untuk diri sendiri niscaya sampailah pikiran orang kepada soal sumpah. Ada orang yang bersumpah saya tidak akan makan daging selama-lamanya. Ada juga orang yang bersumpah saya tidak akan kawin selama-lamanya. Ada orang yang bersumpah demi Allah saya tidak akan menegur si anu mulai ini. Dan banyak lagi sumpah yang lain. Sebagai janji seseorang dengan persaksian nama Allah bahwa dia akan menghentikan ini, atau dia akan berbuat itu.
E.    Pembahasan
Sumpah adalah menguatkan suatu pernyataan dengan menyebut nama Allah SWT atau dengan sifat-sifat-Nya. Dirawikan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dan Muslim pada kedua shahihnya dari Ibnu Umar bahwa suatu hari Rosulullah SAW mendengar Umar bersumpah dengan nama ayahnya sendiri. Maka bersabdalah Rosulullah SAW:
ان الله ينهاكم ان تحلفوا بابائكم فمن حلف فليحلف بالله والا فليصمت
“Sesungguhnya Allah SWT melarang kamu bersumpah dengan nama-nama bapa-bapa kamu, maka barangsiapa yang bersumpah hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah SWT. Kalau tidak begitu, lebih baik diam”.
Orang yang bersumpah wajib baginya untuk menempati sumpah tersebut baik akan melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Allah SWT berfirman:
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu Telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (An-Nahl: 91)
Tafsir ayat ini menjelaska bahwa tepatilah perjanjian yang telah kamu ikrarkan dengan Allah SWT, apabila berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah sesudah kamu meneguhkannya yakni perjanjian-perjanjian yang kamu akui dihadapan Allah SWT. Demikian juga sumpah-sumpah kamu yang menyebut nama-Nya kamu harus menepatinya karena kamu telah menjadikan Allah SWT sebagai saksi dan pengawas atas diri kamu terhadap sumpah-sumpah dan janji-janji itu.
Kemudian yang dimaksud dengan (تنقضوا) adalah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan isi sumpah atau janji. Dan yang dimaksud dengan (بعد توكيدها) ialah menjadikan Allah SWT sebagai saksi dan pengawas atas sumpah atau janji manusia.
Thabatthaba’i menggaris bawahi ahwa kendati membatalkan sumpah dan melanggar janji keduanya terlarang, tetapi pembatalan sumpah lebih buruk daripada pelanggaran janji. Karena yang bersumpah menyebut nama Allah SWT, sehingga pihak pendengar merasa yakin bahwa ucapannya itu benar, karena itu merupakan jaminannya.
Tafsir lain menyebutkan bahwa janganlah kamu berbuat terhadap jani dan sumpahmu yang sudah mengikat itu, seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali. Seakan-akan kamu menjadikan sumpah dan janjimu sebagai alat penipu belaka. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat an-Nahl ayat 92:
 “ Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah Hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.”
Orang membatalkan sumpahnya bagaikan seorang wanita yang idiot lagi lemah tekad dan pikirannya. Wnita itu memintal benangnya kemudian menguraikan dan membiarkan benang tersebut sehelai demi sehelai lepas dan terpisah.
Menurut pendapat para mufassirin, bahwa ayat ini turun mengenai kaum muslimin yang jumlahnya masih sedikit telah mengadakan perjanjian yang kuat dengan Nabi Muhammad dan diwaktu itu mereka melihat orang-orang Quraisy berjumlah banyak dan berpengalaman cukup. Timbullah keinginan mereka untuk membatalkan perjanjian mereka dengan Nabi Muhammad.
Sumpah yang dilakukan tidak atas nama Allah SWT atau sifat-sifat-Nya tidak sah, artinya tidak wajib ditepati dan tidak wajib membayar denda (kifarat sumpah) akibat tidak melaksanakan sumpahnya. Allah SWT berfirman:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”.
Dalam Tafsir Al-Azhar disebutkan:
Oleh karena pada ayat yang dahulu telah mulai tersebut perkara mengharamkan barang yang halal untuk diri sendiri, niscaya sampailah fikiran orang kepada soal sumpah. Ada orang yang bersumpah, saya tidak akan makan daging selama-lamanya. Ada juga orang yang bersumpah saya tidak akan kawin lagi selama-lamanya. Ada orang yang bersumpah, Demi Allah, saya tidak akan menegur si anu lagi mulai kini. Dan banyak lagi sumpah yang lain, sebagai janji seseorang dengan penyaksian nama Allah SWT, bahwa dia akan menghentikan ini atau dia akan berbuat itu. Maka datanglah tuntunan ayat:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sungguh-sunguhkan” (pangkal ayat 89). Di sini terdapat hukum ketentuan Allah SWT tentang bersumpah, maka dibaglah sumpah yang tidak ada artinya, dan yang kedua ialah sumpah yang sungguh-sungguh. Sumpah yang terlanjur dan yang tidak berarti itu, tidaklah mengenal akibat hukum.
Maka menurut keterangan Imam Syafi’i, di dalam Al-Umm dan Imam Malik di dalam Al-Muwaththa’, demikian juga dengan Bukhari dan Muslim dalam shahih keduanya, dan al-Baihaqi di dalam sunannya, yang dipandang sumpah yang tidak disalahkan atau tidak ancam dengan denda kaffarah ialah sebagai yang dirawikan mereka dari hadits Aisyah, seumpama seorang laki-laki bercakap: “Demi Allah, tidak! Benarlah hal itu, wallah, sekali-kali tidak, wallah! Atau seperti yang dirawikan oleh ‘Abd bin Humaid dan Abusy Syaikh dari Ibrahim, ada orang yang bercakap kepada kawannya:
“Engkau mesti datang ke rumahku, wallah! Engkau mesti makan nasiku, demi Allah! Engkau mesti minum, wallah!” Atau segala kata-kata sumpah dalam susunan demikian, hanya semata-mata kaya saja, belumlah dia termasuk sumpah yang wajib dibayar kaffarahnya. Bahkan sampai kepada zaman kita ini, baik di seluruh negeri Arab, ataupun pada orang Arab di Indonesia, kata-kata Wallah itu biasa saja, sebagai penekan kata belaka. Sebagai seorang bertanya (dalam bahasa Arab): Adakah engkau lihat si fulan?
Temannya menjawab: “Ada saya lihat, wallah!” (Ra-aituhu, wallah). Ini namanya sumpah yang lagha. Tidak disalahkan, artinya tidak wajib membayar kaffarah. Yang wajib dibayar kaffarahnya kalau sumpah itu dilanggar ialah ucapan sumpah yang sungguh-sungguh. Misalnya kita bersumpah: “Demi Allah SWT, aku tidak hendak merokok lagi”. Maka kalau dilanggar sumpahnya itu, lalu dia merokok, kenalah dia denda (kaffarah). Sebab di sana sudah ada ‘aqad. Ingatlah kembali kepada awal surat, bahwa kepada orang yang beriman diwajibkan menyempurnakan ‘aqad itu. Di sini adalah ‘aqad yaitu janji di antara diri kita sendiri dengan Allah SWT, dengan memakai nama-Nya. Sayyidina Abu Bakar r.a pernah bersumpah tidak lagi akan memberikan bantuan belanja, kepada seorang yang selalu diberinya bantuan selama ini, sebab orang itu turut terlibat di dalam menuduh Aisyah dengan tuduhan hina (lihat Tafsir Surat An-Nur). Rosulullah SAW menyalahkan beliau karena bersumpah demikian. Maka bantuan itu diteruskannya kembali, tetapi dengan terlebih dahulu membayar kaffarah, sebab sumpahnya itu. Maka segala sumpah yang telah kita sumpahkan dengan nama Allah SWT akan mengerjakan suatu pekerjaan atau menghentikan satu pekerjaan, akan berjanji dengan orang lain dengan pakai sumpah, kalau tidak dapat dipegang teguh, kalau tidak dapat dipenuhi, wajiblah dibayar kaffarahnya, yaitu dengan denda. “Maka dendanya ialah memberi makan sepuluh orang miskin, dengan makanan yang pertengahan daripada makanan yang kamu berikan kepada ahli kamu”.
Kalau sumpah tadi tidak dapat dipenuhi, atau dilanggar, wajiblah bayar denda, yaitu memberi makan sepuluh orang miskin, dengan makanan pertengahan sendiri. Misalnya pertengahan ini niscaya menurut ‘urf (yang teradat) di satu-satu negeri. Misalnya makanan kita yang terendah ialah sepiring nasi dengan sambal terasi. Makanan menengah ialah makanan kenyang nasi dengan lauk pauk sederhana. Makanan yang ukuran tinggi bagi kita ialah yang biasa kita hidangkan kalau kita menjamu orang yang kita hormati. Nasi sebanyaknya, pakai gulai kambing dan beberapa gulai yang lain. Maka pilihlah makanan yang pertengahan, lalu beri makan kepada sepuluh orang miskin. Boleh dipanggil pulang ke rumah, dan boleh diberikan makanan mentah dan boleh pula diantarkan ke rumah-rumah mereka. Atau diberikan harganya saja. Menurut Imam Hanafi, boleh pula menjamu seorang miskin sepuluh hari berturut-turut.
Menurut Sayyidina Ali, ialah makanan sehari. Makanan siang dan makanan malam (Ghadaa dan ‘Asyaa’). Atau memberi pakaian untuk mereka. Ini denda tingkat kedua. Artinya kalau kita lebih mampu, baiklah diberi pakaian kepada sepuluh orang miskin. Lalu oleh ulama-ulama fiqih, ditunjukkan pula apa yang dimaksud dengan pakaian, yang di dalam ayat disebutkan kiswah. Dapat diambil kesimpulan, bahwa yang dimaksud ialah pakaian yang dapat meurut aurat ketika mereka sembahyang. Kalau di Mesir misalnya, tentu dapat diberikan kepada mereka sehelai baju Jalabiyah, yang menutup seluruh tubuh mereka sampai ke bawah. Di Makkah disebutkan namanya Gamis (kemeja panjang). Buat kita bangsa Indonesia, yang dapat menutup aurat dalam sembahyang tentulah sehelai kain sarung dan sehelai kemeja atau baju. Kalau kita lengkapkan lagi dengan sebuah songkok dan sepasang terompah atau sandal, tentu lebih baik. Atau memerdekakan budak. Ini kaffarah yang tinggi sekali. Untuk menebus sumpah yang sudah terlanjur itu memerdekakan budak. Imam Syafi’i dengan mengqiyaskan kepada denda memerdekakan budak karena terlanjur membunuh orang mukmin atau kafir yang dalam perjanjian tidak dengan sengaja, yaitu memerdekakan budak yang beriman, maka beliaupun berpendapat, hendaklah budak yang akan dimerdekakan pembayar kaffarah sumpah itu budak yang beriman, tegasnya budak Islam. Termasuk juga di dalamnya penebus orang tawanan. Misalnya terjadi peperangan, ada orang Islam ditawan musuh, baik dilepaskan oleh musuh karena ditebus, dipersilahkan tebus budak itu, sehingga dia bebas kembali.
F.    Analisa
Berdasarkan penjelasan dan  berbagai tafsir tentang surat An-Nahl ayat 91 diatas, sumpah yang merupakan pernyataan un tuk menguatkan kebenaran dengan menyebut nama Allah atau sifat-sifatNya. Maka jika seseorang yang telah bersumpah akan tetapi tidak menempatinya, maka diwajibkan baginya membayar denda kafarat yakni memberi makan 10 orang miskin, memberi pakaian kepada mereka dan memerdekakan budak.
Akan tetapi jika seseorang bersumpah tidak atas nama Allah atau sifat-sifatNya, maka sumpahnya itu tidak sah artinya tidak wajib ditepati dan tidak wajib membayar denda kafarat.


Daftar Pustaka

Fuad Abdul Baqi. Terjemah Al-Lu’lu Wal Marjan jilid 2, Surabaya: PT. Bina Ilmu,2003
Hamka. Tafsir Al-Azhar, Singapura: Pustaka Nasional,2003
Quraisy Syihab. Tafsir Al-Misbah jilid 7, Jakarta: Lentera Hati,2004
Salim Bahreisy, Said Bahreisy. Terjemah Tafsir Ibnu Katsir jilid 4, Surabaya: PT.Bina Ilmu,2005
Sayyid Quthb. Tafsir Fis Zhilalil Qur’an jilid 7, Jakarta: Gema Insani,2003

Ditulis Oleh : IMM Tarbiyah ~IMM Komisariat Dakwah

IMM.Dakwah Anda sedang membaca artikel berjudul SUMPAH (Tafsir surat An-Nahl ayat 91).

Ditulis oleh IMM Komisariat Dakwah.

Silahkan manfaatkan dengan bijak.

Blog, Updated at: 09.43