- Pendahuluan
Hampir
semua konsep konsep-konsep dalam tasawuf berasal dari Al-Quran.
Konsep-konsep maqamat seperti tobat, faqr, sabar, tawakal, ridha, dan
sebagainya, semuanya diambil dari Al-Quan. Demikian juga halnya
konsep-konsep yang berkaitan dengan ahwal seperti qurb, mahabbah,
khawf, raja`, thuma`ninah, musyahadah, yaqin dan sebagainya.
Konsep-konsep kejiwaan yang akrab dan beredar di kalangan para sufi
pun berasal dari Al-Quran seperti nafsu amarah, lawwamah,
muthmainnah. Semuanya itu jelas menunjukkan bahwa tasawuf bersumber
dari Al-Quran.
Sumber,
akar dan pijakan tasawuf berikutnya adalah sunnah Rasul. Tidak dapat
disangkal bahwa kehidupan seorang Muslim, termasuk di dalamnya
kehidupan rohani beliau. Kehidupan suci dan kekhusyu`an ibadah yang
dijalani Nabi, dari zaman ke zaman merupakan cermin penting yang
member inspirasi bagi para sufi untuk tetap menjaga kesucian hidup
mereka, mengendalikan nafsu serta merumuskan konsep-konsep yang
berkaitan dengan tasawuf.1
Maqamat
(station) dan ahwal adalah dua konsep yang sangat penting dalam
tasawuf.
Keduanya, menurut Nurbakhs, function
as a mean to break the sufi`s “idols” and to reach a Unitarian
stage
(berfungsi sebagai
penghancur berhala-berhala (idols)
kaum sufi dan untuk mencapai persatuan dengan Tuhan).2
Pada makalah ini akan kami bahas sedikit tentang maqamat dan ahwal
sebagai jalan untuk menemukan tujuan dari tasawuf.
- Pembahasan
- Pengertian Maqamat
Maqamat
adalah bentuk jamak dari maqam.
Maqam secara
literal berarti tempat berdiri, stasiun, tempat, lokasi, posisis atau
tingkatan. Secara terminologis berarti kedudukan spiritual. Dalam
Al-Quran, kata maqam
yang
berarti tempat, disebutkan beberapa kali dengan kandungan kandungan
makna abstrak (bersifat spiritual) dan konkret (bersifat fisik dan
material), diantaranya pada surat al-Baqarah (2): 125, al-Isra
(17):79, Maryam (19): 73, al-Shafat (37): 164, al-Dukhan (44): 54,
dan al-Rahman (55): 46.
Secara
terminologis kata maqam
dapat
ditelusuri pengertiannya dari pendapat para sufi yang masing-masing
pendapat mereka berbeda satu sama lain secara bahasa, namun secara
substansi memiliki pemahaman yang relatif sama. Dalam pandangan
al-Qusyairi (w. 465 H/1072 M), maqam
adalah tahap adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul
(sampai) kepada-Nya
dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan
ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri ketika
dalam kondisi tersebut, serta latihan-latihan spiritual (riayadhah)
menuju kepadaNya.
Senada
dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri (w. 465 H/1072 M) menunjuk maqam
kepada
“keberedaan” seseorang di jalan Allah, yang dipenuhim olehnya
kewajiban-kewajibanyang berkaitan dengan maqam itu serta menjaganya
hingga ia mencapai kesempurnaannya, sejauh berada dalam kekuatan
manusia. Agaknya berbeda dengan kedua sufi diatas, Abu Ismail
al-Anshari (w. 481/1089 M) berpandangan bahwa maqam
adalah
pemenuhan hak-hak Allah. Jika seorang
hamba tidak memenuhi hak-hak yang ada pada perhentian-perhentian
(manzil)
itu,
maka tidak sah baginya untuk naik ke maqam
(tingkat)
yang lebih tinggi.
Abu
Nashr al-Sarraj (w. 378H/1088 M) mempunyai pandangan yang cukup
sistematis dan komprehensif tentang maqam.
Menurutnya maqam
adalah
“kedudukan atau tingkatan seorang hamba di hadapan Allah yang
diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan
melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah),
latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa
raga semata-mata kepada Allah serta memutuskan selain-Nya
(inqitha`
illa Allah)3.
Senada
dengan pandangan kaum sufi diatas, Amatullah Armstrong, memandang
bahwa Maqam
diperoleh
dan dicapai melalui upaya dan ketulusan sang penempuh jalan
spiritual. Namun, menurut Armstrong, perolehan ini sesungguhnya
terjadi berkat rahmat Allah jua. Jadi maqam seorang hamba tidak
semata hasil dari usahanya belaka melainkan ada intervensi Allah,
yakni anugerah-Nya
berupa maqam kepada sang hamba.
Tentang berapa
jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi
untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama
pendapatnya. Di antaranya menurut Abu Nasr al-Tusi dalam kitab
al-Luma’
menyebutkan jumlah maqamat ada tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’,
al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal, al-shabr, dan al-ridha. Imam
al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum ad-Din menyebutkan bahwa
maqamat ada delapan, yaitu sama dengan pendapat Abu Nasr al-Tusi
ditambah al-mahabbah.4
Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl
al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasition misalnya mengatakan bahwa
maqamat itu jumlahnya ada 10, yaitu ditambah al-tawadlu’, al-taqwa,
dan al-ma’rifah.5
- Rincian Maqamat
- Tobat
Hampir mayoritas
kaum sufi sepakat bahwa taubat merupakan maqam pertama.6
Kedudukannya laksana fondasi sebuah bangunan. Tanpa fondasi, bangunan
tidak dapat berdiri. Tanpa taubat, seseorang tidak akan dapat
menyucikan jiwanya dan tidak akan dapat dekat dengan Allah.7
Secara literal,
taubat berarti kembali. Dalam perspektif tasawuf, taubat berarti
kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk
tidak mengulanginya lagi, kemudian kembali kepada Allah. Dalam
bukunya, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Mustafa Zahri menyebut taubat
berbarengan dengan menyebut istighfar (memohon ampun). Bagi orang
awam taubat cukup dengan membaca astaghfirullah
wa atubu ilahi, sebanyak
70 kali sehari semalam. Sedangkan bagi orang khawas bertaubat dengan
mengadakan riadah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha
membuka hijab (tabir) yang membatasi diri dengan tuhan.
Dalam Minhaj
al-Abidin, al-Ghazali
menjelaskan bahwa taubat memiliki dua sasaran. Pertama,
tubat membuka jalan dalam peningkatan kualitas ketaatan seseorang
kepada Allah, sebab perbuatan dosa yang dilakukan seseorang
mengakibatkan kehinaan dan tertutupnya jalan untuk melakukan ketaatan
kepada Allah. Kedua,
taubat menentukan diterimanya amal ibadah seseorang oleh Allah.8
Menurut al-Sarraj,
taubat terbagi pada beberapa bagian. Pertama,
taubatnya
orang-orang yang berkehendak (muridin),
para
pembangkang
(muta’arridhin), para
pencari (thalibin),
dan
para penuju (qashidin).
Mereka
ini adalah orang-orang yang kadang bertaubat kadang lalai. Kedua,
taubah ahli haqiqat (khusus), yaitu mereka yang tidak ingat lagi akan
dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka,
dan mereka senantiasa mengingat (zikir) kepada-Nya. Ketiga,taubat
ahli ma’rifat dan kelompok istimewa (khusus
al-khusus), yaitu
orang-orang yang mabuk kepada Allah atau berpaling dari segala
sesuatu selain Allah.9
- Al-Wara’
Secara literal wara’
berarti menjauhkan diri dari dosa dan menahan dari hal-hal yang
syubhat dan maksiat. Dalam perspektif tasawuf, wara’ bermakna
menahan diri dari hal-hal yang tidak pantas, sia-sia, dan menjauhkan
diri dari hal-hal yang haram atau terlarang ataupun meragukan
(syubhat).
Yahya ibn Mu’adz
membagi wara’ dalam dua jenis, pertama,
wara’
dalam bentuk zahir, adalah sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada
satu tindakan pun selain karena Allah, dan kedua,
wara’
dalam pengertian batin, adalah sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak
ada sesuatu pun yang memasuki hati sang hamba kecuali Allah.
Sedangkan al-Sarraj membaginya kedalam tiga kelompok. Pertama,
kelompok
yang bersifat wara’ dari hal-hal yang syubhat, yakni apa-apa yang
jelas kehalalan dan keharamannya, dan apa-apa yang tak mempunyai
identitas halal dan haram secara mutlak, mereka berada diantara kedua
itu, kemudian mereka bersifat wara’ terhadap kedua hal itu. Kedua,
mereka
yang bersifat wara’ dari apa-apa yang membuat hati gelisah ketika
mengambil yang syubhat. Kondisi seperti ini tak bisa diketahui
kecuali oleh orang-orang yang bersih hatinya dan ahli hakikat.
Ketiga,
yang
bersikap wara’ adalah kaum ‘arifin dan Wajidin. Wara’ dalam
kelompok ini adalah wara’ yang tidak membuat lupa kepada Allah,
artinya bersikap wara’ plus senantiasa dipenuhi zikir.
Jadi, menurut
al-Sarraj kelompok pertama adalah wara’nya orang-orang awam, yang
kedua wara’nya orang-orang khusus dan ketiga wara’nya orang
istimewa (khusus al-khusus).
- Al-Zuhud
Zuhud secara
literal berarti meninggalkan, tidak tertarik dan tidak menyukai.
Sedangkan dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian
hati terhadap hal ihwal keduniaan dan menjauhkan diri darinya karena
taat kepada Allah, padahal terdapat kesempatan untuk memperolehnya.
Menurut Abu Hasan
al-Syadzili10
keperluan manusia pada hal ihwal keduniaan tidak dapat
dikesampingkan. Menurutnya, yang dimaksud orang zuhud ialah orang
yang menggunakan hal ihwal keduniaan sekedar untuk memenuhi hajat
hidupnya, atau yang mampu menggunakan segala hal ihwal duniawi sesuai
dengan ketentuan hukum dan etika, bukan untuk berlebihan atau
berfoya-foya.
Namun beberapa
sufi, utamanya Hasan al-Bashri (21-110 H./642-728 M.), sufi yang
terkenal dengan kezuhudan dan kesalihannya, memandang rendah dunia
tidak hanya secara rohani tapi juga secara fisik. Dunia ini laksana
ular yang berbisa yang mesti dijauhi.11
Kaum sufi yang lain memandang zuhud sebagai sebuah sikap yang tidak
dikusai dunia, bukannya memusuhi dunia. Sufyan al-Tsauri misalnya,
berpendapat bahwa zuhud terhadap dunia adalah membatasi keinginan
untuk memperoleh dunia, bukannya memakan makanan kasar atau
mengenakan jubah dari kain kasar.
- Kefakiran
Secara harfiah
biasanya diartkan sebagai orang yang berajat, butuh atau orang
miskin. Sedangkan dalam pandangan dalam pandangan sufi, fakir adalah
tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak
meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan
kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita,
kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.12
Jadi faqr
(kefakiran) bukan orang yang tidak punya bekal hidup, tapi orang yang
bersih atau kosong hatinya dari keinginan duniawi. Ini juga bermakna
bahwa faqr
(kefakiran)
itu adalah orang yang hanya memperkaya rohani atau batinnya dengan
Allah. Dalam pandangan al-Ghazali, Faqr
(kefakiran)
adalah hilangnya apa-apa yang dibutuhkan. Artinya ia benar-benar
membutuhkan yang hilang itu. Seseorang, lanjut al-Ghazali, jika
kehilangan apa-apa yang tidak ia butuhkan maka bukan faqr
(kefakiran) namanya. Senada dengan al-Ghazali, ibn Qayyim juga
memandang faqr
sebagai
senantiasa membutuhkan Allah dalam segala kedaan dan mengakui
keunggulan segala apa yang ada di sisiNya dibanding dengan segala
yang dimilikinya.
Kemuliaan maqam faqr
ini,
menurut al-Sarraj, jua seperti yang ditunjukkan oleh Ibrahim
al-Khawwas (w. 291 H) bahwa kefakiran merupakan selendang kemuliaan,
pakaian para Rasul, jilbab (penutup) orang-orang yang saleh, mahkota
orang-orang yang bertakwa, hiasan orang-orang yang beriman, harta
kaum `arifin dan benteng orang-orang yng taat. Kefakiran juga, lanjut
al-Khawwas, mampu menghapus segala dosa dan keburukan, mengagungkan
segala kebaikan, mengangkat derajat, menyampaikan hingga tujuan
akhir, menjadi ridha bagi Yang Maha Memaksa (al-Jabbar), menjadi
karamah para wali, ia juga merupakan lambang bagi orang-orang yang
saleh.13
- Sabar
Secara harfiah,
sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya
menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah,
tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan dan menampakkan sikap cukup
walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi.
Selanjutnya Ibnu Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam
menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan pendapat lain
mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa
menunjukkan rasa kesal. Ibnu Usman al-Hairi mengatakan, sabar adalah
orang yang mampu memasung dirinya atas segala seuatu yng kurang
menyenangkan.
Di kalangan para
sufi, sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah
Allah, dalam menjauhi segala larangan-Nya pada diri kita. Sabar dalam
menunggu datangnya pertolongan Tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan
dan tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Menurut Ali bin Abi
Thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaimana kepala
yangkedidukannya lebih tinggi dari jasad. Hal ini menunjukkan bahwa
sabar sangat memegang peranan penting dalam kehidupan Manusia.14
Dalam pandangan
sufi, musuh terberat bagi orang-orang beriman ialah dorongan hawa
nafsunya sendiri, yang setiap saat dapat menggoyahkan iman. Kesabaran
merupakan kunci keberhasilan dalam meraih karunia Allah yang lebih
besar, mendekatkan diri kepada-Nya, mendapatkan cinta-Nya,
mengenal-Nya secara mendalam melalui hati sanbari, bahkan merasa
bersatu dengan-Nya, karena tanpa kesabaran keberhasilan tidak mungkin
dicapai. Nabi bersabda, “seorang
hamba Allah tidak akan memperoleh suatu kebaikan, sementara harta
kekayaan tidak lenyap dan badannya tidak pernah sakit, sebab jika
Allah mencintai seorang hamba, Ia akan mengujinya dengan berbagai
cobaan. Oleh karena itu, jika Allah mengujimu, maka bersabarlah.”
(HR.
Al-Tirmidzi).15
- Tawakal
Secara harfiah
tawakal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa
awalnya adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai
di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang
memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar
mengatakan tawakal adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi lebih
lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati dan
timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat
dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala
ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap
jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir
Allah.16
Dalam konteks
tasawuf, tawakkal merupakan refleksi dari tauhid yang murni, sebab
jika masih ada ketakutan atau ketergantungan pada sesuatu mekhluk
berarti ia masuk ke dalam syirik
khafi
(mempersekutukan Allah secara sembunyi).17
Al-Ghazali memandang bahwa tawakal terdiri atas tiga tingkatan.
Pertama,
menyerahkan diri kepada Allah, seperti seseorang yang menyerahkan
kekuaasaan dalam satu urusan kepada wakilnya, setelah ia meyakini
kebenaran, kejujuran, dan kesungghan wakilnya dalam menangani dalam
urusan itu. Kedua,
menyerahkan diri kepada Allah laksana mayat di tangan orang yang
memandikannya. Orang yang berada pada tawakal tingkat pertama
masih
memperlihatkan harapan dan keinginan yang muncul dari dalam diriya,
meskipun segala urusan telah diwakilkannya kepada Allah. Kemudian
pada tawakal tingkat kedua,
harapan
dan keinginan masih terlihat, namun sudah jauh berkurang. Tawakal
pada tingkat ketiga
dipandang
sebagai kepasrahan total kepada Allah.18
- Kerelaan
Secara harfiah,
ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan ridha
berarti tidak berusaha, tidak menentang qadha dan qadar Tuhan.
Menerima qadha dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan
benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan
senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana
merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan
tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunya
qadha dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qadha
dan qadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya bala`
(cobaan yang berat).
Manusia biasanya
merasa sukar menerima keadaan-keadaan yang biasa menimpa dirinya,
seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat dan
kedudukan, kematian dan lain-lain yang dapat mengurangi
kesenangannya. Yang dapat bertahan dari berbagai cobaan itu hanyalah
orang-orang yang telah memiliki sifat ridha. Selain itu ia juga rela
berjuang atas jalan Allah, rela menghadapi segala kesukaran, rela
membela kebenaran, rela berkorban, jiwa dan lainnya. Semua itu
dipandang sebagai sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang bernilai
tinggi bahkan dianggap sebagai ibadat semata-mata karena mengharapkan
keridhaan Allah.19
Maqam ridha
(kerelaan) ini, menurut al-Sarraj, merupakan akhir sari seluruh
rangakaian maqamat. Selanjutnya maqamat ini membutuhkan ahwal
orang-orang yang ahli meneliti kedaan-keadaan qalbu, mengkaji hal-hal
yang ghaib, menggali rahasia-rahasia dengan cara dzikir yang tulus
dan menemukan realitas-realitas (haqaiq) ahwal.20
- Pengertian Ahwal
Ahwal adalah
bentuk jamak dari kata hal
yang berarti keadaan atau kondisi spiritual. Hal
sebagai
sebuah kondisi yang singgah dalam kalbu merupakan efek dari
peningkatan maqamat
seseorang.
Secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa seorang hamba kapan pun
ia mendekat kepada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah,
riyadhah dan
mujahadah,
maka Allah akan memanifestasikan diri-Nya dalam kalbu hamba tersebut.
Mengenai hal
tersebut, Ibnu
al-Alaraby mempunyai pandangan tersendiri mengenai ahwal.
Seperti yang dikutip oleh William C. Chittick dalam bukunya yang
berjudul “The
Sufi Path of Knowledge;Pengetahuan Spiritual Ibnu Al-Araby”
memaknai
dengan kondisi spiritual seseorang bersifat sementara, yang berbeda
dengan maqamat
memiliki
sifat-sifat yang sama dengan keadaan kecuali kualitas yang dimiliki
oleh jiwa. Keadaan-keadaan (ahwal)
adalah
pemberian Tuhan (anugerah) dan maqamat
adalah
dicapai melalui usaha. Seperti perkataan beliau: “Setiap maqam
di jalan Tuhan merupakan hasil usaha, ada pula sebagian pemberrian,
sementara keadaan merupakan pemberian, bukan sebagai hasil usaha,
bukan pula sebagai sesuatu yang telah ditetapkan. Keadaan bagaikan
pancaran cahaya. Ketika ia memancar, akan lenyap dikarenakan adanya
sesuatu yang berlawanan, atau karena danya sesuatu yang
serupa.Namun, jika ia diikuti oleh sesuatu yang serupa, sang
pemiliknya akan kehilangan.”21
Pendapat yang lain
juga dikemukakan oleh al-Sarraj. Beliau adalah sufi yang hidup lebih
dahulu dibandingkan dengan al-Qusyairi dan al-Hujwiri. Beliau
memandang bahwa ahwal
adalah
“apa-apa yang bersemayam dalam kalbu dengan sebab zikir yang
tulus”. Ada yang mengatakan bahwa hal
adalah
zikir yang lirih (khaufy).
Menurut
al-Sarraj yang merujuk kepada al-Junaid yang mengatakan bahwa hal
bertempat
di dalam kalbu dan tidak kekal.22
Sedangakan Harun
Nasution mengaartikan hal
dengan
keadaan mental seperti senang, sedih dan sebagainya. 23
sedangkan Syaikh Fadhalalla Haeri membedakan hal
dengan
maqam,
yaitu
dimana dan bagaimana dan mengartikan hal
dengan sesuatu yang dapat dirasakan.24
- Macam-macam Ahwal
- Muraqabah
Secara literal,
muraqabah
berarti
menjaga atau mengamati tujuan. Sedangkan secara terminologi, berarti
melestarikan pengamatan kepada Allah dengan hatinya. Abu Yahya
Zakariya al-Ansari (926 H/1520 M), memaknai muraqabah secara bahasa
dengan selalu memperhatikan sedangkan secara istilah dengan
senantiasa memandang Tuhan dengan hati.25
Sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya,
dengan
penuh perasaan-Nya, Allah melihat dirinya dalam gerak dan diam-Nya.
Menurut al-Qusyairi,
muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah, dan mawas diri
juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa
melihat dirinya. Manusia hanya akan sampai kepada muraqabah setelah
setelah melakukan perhitungan dengan dirinya mengenai apa yang telah
terjadi pada masa lampau, mempeerbaiki keadaanya di masa kini, tetap
teguh di jalan yang benar, meperbaiki hubungannya dengan Allah
sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada
Allah, taat kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru setelah ini semua
dilakukan, Allah melihat perbuatannya dan mendengar perkataannya.26
Sedangkan menurut
al-saraj adalah kesadaran rohani sang hamba bahwa Allah senantiasa
mengawasinya.27
Menurut beliau, ahli muraqabah terbagi atas tiga tingkatan. Pertama,
adalah tingkatan ibtida’. Kelompok ini seperti yang disebut Hasan
ibn Ali al-Damaghani bahwa bagi sang hamba hendaknya senantiasa
menjaga rahasia-rahasia hati karena Allah selalu mengawasi setiap apa
yang tersirat dalam batin.
Tingkatan kedua
dalam muraqabah ditujukan oleh ibn ‘Atha yang mengatakan,
“Sebaik-baik kalian adalah yang senantiasa mengawasi Yang Haq
dengan Yang Haq di dalam fana kepada selain yang haq dan senantiasa
mengikuti Nabi Muhammad SAW , dalam perbuatan, akhlak dan adabnya.
Artinya, sang hamba memiliki kesadaran penuh bahwa sebaik-baik
pengawasan adalah pengawasan Allah, tidak sedikit pun terbesit adanya
pengawasan yang lain, dan bagi hamba hendaknya ia lebur bersama-Nya.
Tingkatan ketiga
dari ahli muqarabah adalah hal al-qubara (orang-orang agung), yakni
mereka yang senantisa mengawasi Allah dan meminta kepada-Nya untuk
menjaga merka dalam muqarabah, dan Allah sendiri sudah menjamin
secara khusus hamba-hamba-Nya yang mulia itu untuk tidak
mempercayakan mereka dan segala kondisi mereka kepada seseorang
selain diri-Nya, dan hanya Allah saja yang melindungi mereka, seperti
firman-Nya, “Dan
Dia melindungi orang-orang yang shaleh.”(QS.
Al-‘Araf:195).28
Tingkat pertama yang
disebut al-Sarraj di atas, sama artinya dengan sebuah kepasrahan
kepada kehendak Allah dan yakin bahwa Ia ada di mana-mana dan Ia
mengetahui semua pikiran, perasaan, dan perbuatan sang hamba.
Karenanya ia yakin bahwa Allah adalah “Pengawas segala sesuatu.”
Sedang tingkat kedua dan ketiga berarti konsentrasi hati sang hamba
hanya kepada Allah sepanjang hidupnya, hingga ia merasa Allah menjadi
teman, pelindung dan sumber seluruh hidupnya.29
- Mahabbah
Kata mahabbah
berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan, atau cinta yang
mendalam.30
Mahabbah secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan
asal pengambilan katanya. Pertama,
mahabbah
berasal dari kata hibbah, yang berarti benih yang jatuh ke bumi,
karena cinta adalah sumber kehidupan sebagaimana benih menjadi sumber
tanaman. Kedua,
berasal dari kata hub, yang berarti tempayan yang penuh dengan air
yang tenang, sebab bila cinta telah memenuhi hati, tak ada lagi
tempat bagi yang lain selain yang dicintainya. Ketiga,
berasal dari kata hibb, yang artinya empat keping kayu penyangga poci
air, karena seseorang pencinta sejati akan menerima apa saja yang
dilakukan kekasihnya dengan suka hati. Keempat,
berasal dari kata habb (bentuk jamak dari habbah), yang berarti
relung hati tempat bersemayamnya cinta. Kelima, istilah mahabah juga
berasal dari kata habab, yakni gelembung-gelembung air dan
luapan-luapanya yang turun ketika hujan turun lebat. Hal ini karena
cinta adalah luapan hati yang merindukan persatuan dengan kekasihnya.
Menurut al-Sarraj,
dari segi tingkatannya ada 3 macam, yaitu mahabbah orang biasa,
mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang
biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, suka
menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog
dalam Tuhan.31
Ketiga tingkat
mahabbah tersebut tampak menunjukan suatu proses mencintai, yaitu
mulai dari yang mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya
melalui zikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada
sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat
Tuhan.32
- Khauf
Khauf secara bahasa
dapat diartikan dengan takut, sedangkan secara istilah diartikan
dengan takut kepada Allah SWT.33
Takut kepada Allah adalah takut akan siksaan-Nya. Seperti yang
diungkapkan oleh al-Qusyairi bahwa yang dinamakan dengan takut
(khauf)
adalah
takut terhadap hukum-Nya. 34
takut kepada Allah meski hanya takut akan siksaNya merupakan tanda
orang-orang yang beriman. Dalam firman Allah, “Maka
takutlah kepada-Ku, jika kalian orang-orang yang beriman”. Khauf
atau takut, menurut al-Qusyairi adalah masalah yang berkaitan dengan
kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika
apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan kenyataan itu
hanya terjadi di masa datang.
Senada dengan
al-Qusyairi, al-Ghazali juga memandang khauf
sebagai
hati yang sakit dan terbakar karena adanya bayangan atau imajinasi
tentang sesuatu yang dibenci di masa datang. Beliau pun juga berkata,
“ketahuilah bahwa hakikat khauf adalah penderitaan hari yang
disebabkan karena mewaspadai kemungkinan terjadinya keburukan di masa
depan, kadang-kadang terjadi karena mengalirnya dosa-dosa,
kadang-kadang karena takut kepada Allah SWT dengan mengetahui
sifat-sifat-Nya tentu saja akan menimbulkan rasa takut, inilah yang
paling baik, sebab barangsiapa yang mengetahui Allah, niscaya dia
akan takut pada-Nya, Allah berfirman; “Sesungguhnya
yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (yang
mengetahui kekuasaan dan kebesaran Allah).35
Khauf adalah
tangisan hati seseorang pada saat mengira-ngira akibat apa akan
menimpa karena perbuatan buruk yang pernah dilakukan, sehingga
jiwanya tidak lagi berkeinginan melakukan perbuatan yang menyimpang
atau dosa, bahkan dia tidak lagi mendekati lingkungan-lingkunan
keraguan (keraguan akan kekuasaan Tuhan) yang dapat menjerumuskannya
ke jurang kenistaan dan kerusakan. Hal inilah yang membuat seorang
sufi dengan khaufnya akan naik menjadi orang yang berhias dengan
paling mulianya hiasan yang digunakan oleh para muqarabun
(orang-orang
yang dekat dengan Tuhannya).
Ketika itulah gejala-gejala khauf akan berpindah dari dunia jasad
menuju dunia ruh; di mana dia akan merasakan kesedihan-kesedihan yang
tidak diketahui melainkan orang-orang yang berhati jernih.36
- Raja’
Raja’ secara
bahasa adalah pengharapan. Secara istilah raja’ adalah harapan
untuk mendapatkan ampunan, kasih sayang yang akhirnya bisa bertemu
dengan Allah.37
Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan mata keindahan.
Harapan adalah kedekatan hati kepada kemurahan Tuhan. Harapan berarti
melihat pada kasih sayang Allah Yang Maha Meliputi. Syekh Ahmad Zaruq
berkata dalam mendefinisikan raja’ adalah kesenangan terhadap
keutamaan Allah Swt. dengan melakukan perbuatan nyata terhadap semua,
kalau tidak maka itualah penipuan. Allah senantiasa menyuruh
hamba-Nya untuk meohon dan melarang kita berputus asa terhadap
rahmat-Nya.
Al-Ghazali juga
memandang raja’
sebagai
senagnya hati karena menunggu Sang Kekasih datang kepadanya. Menurut
al-Ghazali, khauf
dan
raja’
adalah
kata yang senantiasa bergandengan satu sama lain dan tidak akan
putus, jika terputus bukan khauf
dan
raja’
namanya.
Sementara Abu Ali al-Rudzbari, secara alegoris (perbandingan)
memandang khauf
dan
raja’
seperti
sayap burung. Manakala kedua belah sayap itu seimbang, si burung pun
akan terbang dengan sempurna dan seimbang. Namun jika salah satunya
kurang berfungsi, akan menjadikan si burung kehilangn kemampuannya
untuk terbang. Apabila harap dan takut tidak ada, maka si burung akan
terlempar ke jurang kematian.38
Secara garis besar
raja’
berarti
suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat
Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambaNya yang saleh. Menurut
al-Sarraj, raja’
dibagi
atas tiga bagian; raja’
bersama
Allah, raja’
di
dalam luasnya rahmat Allah dan raja’
dalam pahala Allah. Raja’
dalam
luasnya rahmat dan pahala Allah berarti sang hamba atau sang murid
ketika Allah menyebut-nyebut pahalanya, maka ia mengharapkannya. Ia
mengetahui bahwa kemuliaan, keutamaan, dan kemurahan merupakan sifat
Allah, kemudian hatinya menjadi senang dan mengharap Allah member
kemuliaan dan keutamaan-Nya. Sedang sang hamba yang berharap (raja’)
bersama
Allah adalah ia yang sudah mencapai hakikat raja’.
Ia tidak mengharap apaun kecuali Allah semata. Tentang ini, al-Syibli
mengatakan bahwa raja’
adalah
engkau mengharapkan-Nya agar ia tidak memutuskanmu dari-Nya.39
- Kesimpulan
Dari uraian diatas
dapat disimulkana bahwa
beberapa sikap yang termasuk dalam maqamat itu sebenarnya merupakan
akhlak yang mulia. Semua itu dilakukan oleh seorang sufi setelah
lebih dahulu membersihkan dirinya dengan bertaubat dan menghiasinya
dengan akhlak yang mulia. Sedangkan ahwal itu salah satu jalan
menuju Tuhan secara ruhaniyyah yakni jalan menuju Tuhan yang
berkenaan dengan hati atau ahwal
al qalb yang
pada dasarnya adalah memperbaiki hati dan menyembuhkannya dari
penyakit-penyakit, untuk kemudian diganti dengan sifat-sifat
kesempurnaan.
Oleh sebab itu dapat
dikatakan bahwa Maqamat dan Ahwal merupakan
suatu
jalan
untuk menemukan tujuan dari tasawuf, yakni berpindahnya jiwa yang
hina dan rendah menuju jiwa yang paling tinggi dan tenang serta
kembali kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa.
DAFTAR
PUSTAKA
Bahri,
Zainul,
Menembus
Tirai Kesendirian-Nya: Mengurai Maqamat dan Ahwal dalam Tradisi Sufi,
Jakarta:
Prenada Media, 2005.
Nata,
Abuddin, Akhlak
Tasawuf,
Jakarta: Rajawali Pres, 2009.
C. Chittick,
William, The
Sufi Path of Knowledge; Pengetahuan Spiritual Ibnu Al-Araby,
Yogyakarta:
Penerbit Qalam, 2001.
Haeri, Fadhalalla,
Jenjang-jenjang
Sufisme, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
Yunus, Mahmud, Kamus
Bahasa Arab, Jakarta:
Hidakarya, 1990.
Azra,
Azyumardi, Ensiklopedi
Tasawuf, Bandung:
Angkasa, 2008.
Qadir Isa, Abdul,
Cetak
Biru Tasawuf; Spiritualitas Ideal dalam Islam, Jakarta:
Ciputat Press, 2007.
1
Media
Zainul Bahri,
Menembus Tirai
Kesendirian-Nya Mengurai Maqamat dan Ahwal dalam Tradisi Sufi
(Jakarta: Prenada
Media, 2005),
hlm. 01-02.
6
Namun al-Anshari, merupakan sufi yang berbeda dengan pandangan ini.
menurutnya taubat menempati maqam yang kedua. Lihat, Media Zainul
Bahri, Menembus
Tirai., hlm. 45
21
William C. Chittick, The
Sufi Path of Knowledge;Pengetahuan Spiritual Ibnu Al-Araby
(Yogyakarta: Penerbit
Qalam, 2001), hlm. 102.
24
Syaikh Fadhalalla Haeri, Jenjang-jenjang
Sufisme (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 57-58.
35
Syeikh Abdul Qadir Isa, Cetak
Biru Tasawuf; Spiritualitas Ideal dalam Isla (Jakarta:
Ciputat Press, 2007), hlm. 184.