MAQOMAT DAN AHWAL

Written By IMM Tarbiyah on Jumat, 16 September 2011 | 17.56


  1. Pendahuluan
Hampir semua konsep konsep-konsep dalam tasawuf berasal dari Al-Quran. Konsep-konsep maqamat seperti tobat, faqr, sabar, tawakal, ridha, dan sebagainya, semuanya diambil dari Al-Quan. Demikian juga halnya konsep-konsep yang berkaitan dengan ahwal seperti qurb, mahabbah, khawf, raja`, thuma`ninah, musyahadah, yaqin dan sebagainya. Konsep-konsep kejiwaan yang akrab dan beredar di kalangan para sufi pun berasal dari Al-Quran seperti nafsu amarah, lawwamah, muthmainnah. Semuanya itu jelas menunjukkan bahwa tasawuf bersumber dari Al-Quran.
Sumber, akar dan pijakan tasawuf berikutnya adalah sunnah Rasul. Tidak dapat disangkal bahwa kehidupan seorang Muslim, termasuk di dalamnya kehidupan rohani beliau. Kehidupan suci dan kekhusyu`an ibadah yang dijalani Nabi, dari zaman ke zaman merupakan cermin penting yang member inspirasi bagi para sufi untuk tetap menjaga kesucian hidup mereka, mengendalikan nafsu serta merumuskan konsep-konsep yang berkaitan dengan tasawuf.1
Maqamat (station) dan ahwal adalah dua konsep yang sangat penting dalam tasawuf. Keduanya, menurut Nurbakhs, function as a mean to break the sufi`s “idols” and to reach a Unitarian stage (berfungsi sebagai penghancur berhala-berhala (idols) kaum sufi dan untuk mencapai persatuan dengan Tuhan).2 Pada makalah ini akan kami bahas sedikit tentang maqamat dan ahwal sebagai jalan untuk menemukan tujuan dari tasawuf.

  1. Pembahasan
  1. Pengertian Maqamat
Maqamat adalah bentuk jamak dari maqam. Maqam secara literal berarti tempat berdiri, stasiun, tempat, lokasi, posisis atau tingkatan. Secara terminologis berarti kedudukan spiritual. Dalam Al-Quran, kata maqam yang berarti tempat, disebutkan beberapa kali dengan kandungan kandungan makna abstrak (bersifat spiritual) dan konkret (bersifat fisik dan material), diantaranya pada surat al-Baqarah (2): 125, al-Isra (17):79, Maryam (19): 73, al-Shafat (37): 164, al-Dukhan (44): 54, dan al-Rahman (55): 46.
Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya dari pendapat para sufi yang masing-masing pendapat mereka berbeda satu sama lain secara bahasa, namun secara substansi memiliki pemahaman yang relatif sama. Dalam pandangan al-Qusyairi (w. 465 H/1072 M), maqam adalah tahap adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepada-Nya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta latihan-latihan spiritual (riayadhah) menuju kepadaNya.
Senada dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri (w. 465 H/1072 M) menunjuk maqam kepada “keberedaan” seseorang di jalan Allah, yang dipenuhim olehnya kewajiban-kewajibanyang berkaitan dengan maqam itu serta menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaannya, sejauh berada dalam kekuatan manusia. Agaknya berbeda dengan kedua sufi diatas, Abu Ismail al-Anshari (w. 481/1089 M) berpandangan bahwa maqam adalah pemenuhan hak-hak Allah. Jika seorang hamba tidak memenuhi hak-hak yang ada pada perhentian-perhentian (manzil) itu, maka tidak sah baginya untuk naik ke maqam (tingkat) yang lebih tinggi.
Abu Nashr al-Sarraj (w. 378H/1088 M) mempunyai pandangan yang cukup sistematis dan komprehensif tentang maqam. Menurutnya maqam adalah “kedudukan atau tingkatan seorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah serta memutuskan selain-Nya (inqitha` illa Allah)3.
Senada dengan pandangan kaum sufi diatas, Amatullah Armstrong, memandang bahwa Maqam diperoleh dan dicapai melalui upaya dan ketulusan sang penempuh jalan spiritual. Namun, menurut Armstrong, perolehan ini sesungguhnya terjadi berkat rahmat Allah jua. Jadi maqam seorang hamba tidak semata hasil dari usahanya belaka melainkan ada intervensi Allah, yakni anugerah-Nya berupa maqam kepada sang hamba.
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Di antaranya menurut Abu Nasr al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat ada tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal, al-shabr, dan al-ridha. Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum ad-Din menyebutkan bahwa maqamat ada delapan, yaitu sama dengan pendapat Abu Nasr al-Tusi ditambah al-mahabbah.4 Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasition misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada 10, yaitu ditambah al-tawadlu’, al-taqwa, dan al-ma’rifah.5

  1. Rincian Maqamat
  1. Tobat
Hampir mayoritas kaum sufi sepakat bahwa taubat merupakan maqam pertama.6 Kedudukannya laksana fondasi sebuah bangunan. Tanpa fondasi, bangunan tidak dapat berdiri. Tanpa taubat, seseorang tidak akan dapat menyucikan jiwanya dan tidak akan dapat dekat dengan Allah.7
Secara literal, taubat berarti kembali. Dalam perspektif tasawuf, taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, kemudian kembali kepada Allah. Dalam bukunya, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Mustafa Zahri menyebut taubat berbarengan dengan menyebut istighfar (memohon ampun). Bagi orang awam taubat cukup dengan membaca astaghfirullah wa atubu ilahi, sebanyak 70 kali sehari semalam. Sedangkan bagi orang khawas bertaubat dengan mengadakan riadah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha membuka hijab (tabir) yang membatasi diri dengan tuhan.
Dalam Minhaj al-Abidin, al-Ghazali menjelaskan bahwa taubat memiliki dua sasaran. Pertama, tubat membuka jalan dalam peningkatan kualitas ketaatan seseorang kepada Allah, sebab perbuatan dosa yang dilakukan seseorang mengakibatkan kehinaan dan tertutupnya jalan untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Kedua, taubat menentukan diterimanya amal ibadah seseorang oleh Allah.8
Menurut al-Sarraj, taubat terbagi pada beberapa bagian. Pertama, taubatnya orang-orang yang berkehendak (muridin), para pembangkang (muta’arridhin), para pencari (thalibin), dan para penuju (qashidin). Mereka ini adalah orang-orang yang kadang bertaubat kadang lalai. Kedua, taubah ahli haqiqat (khusus), yaitu mereka yang tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka, dan mereka senantiasa mengingat (zikir) kepada-Nya. Ketiga,taubat ahli ma’rifat dan kelompok istimewa (khusus al-khusus), yaitu orang-orang yang mabuk kepada Allah atau berpaling dari segala sesuatu selain Allah.9
  1. Al-Wara’
Secara literal wara’ berarti menjauhkan diri dari dosa dan menahan dari hal-hal yang syubhat dan maksiat. Dalam perspektif tasawuf, wara’ bermakna menahan diri dari hal-hal yang tidak pantas, sia-sia, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang haram atau terlarang ataupun meragukan (syubhat).
Yahya ibn Mu’adz membagi wara’ dalam dua jenis, pertama, wara’ dalam bentuk zahir, adalah sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada satu tindakan pun selain karena Allah, dan kedua, wara’ dalam pengertian batin, adalah sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang memasuki hati sang hamba kecuali Allah. Sedangkan al-Sarraj membaginya kedalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang bersifat wara’ dari hal-hal yang syubhat, yakni apa-apa yang jelas kehalalan dan keharamannya, dan apa-apa yang tak mempunyai identitas halal dan haram secara mutlak, mereka berada diantara kedua itu, kemudian mereka bersifat wara’ terhadap kedua hal itu. Kedua, mereka yang bersifat wara’ dari apa-apa yang membuat hati gelisah ketika mengambil yang syubhat. Kondisi seperti ini tak bisa diketahui kecuali oleh orang-orang yang bersih hatinya dan ahli hakikat. Ketiga, yang bersikap wara’ adalah kaum ‘arifin dan Wajidin. Wara’ dalam kelompok ini adalah wara’ yang tidak membuat lupa kepada Allah, artinya bersikap wara’ plus senantiasa dipenuhi zikir.
Jadi, menurut al-Sarraj kelompok pertama adalah wara’nya orang-orang awam, yang kedua wara’nya orang-orang khusus dan ketiga wara’nya orang istimewa (khusus al-khusus).
  1. Al-Zuhud
Zuhud secara literal berarti meninggalkan, tidak tertarik dan tidak menyukai. Sedangkan dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan dan menjauhkan diri darinya karena taat kepada Allah, padahal terdapat kesempatan untuk memperolehnya.
Menurut Abu Hasan al-Syadzili10 keperluan manusia pada hal ihwal keduniaan tidak dapat dikesampingkan. Menurutnya, yang dimaksud orang zuhud ialah orang yang menggunakan hal ihwal keduniaan sekedar untuk memenuhi hajat hidupnya, atau yang mampu menggunakan segala hal ihwal duniawi sesuai dengan ketentuan hukum dan etika, bukan untuk berlebihan atau berfoya-foya.
Namun beberapa sufi, utamanya Hasan al-Bashri (21-110 H./642-728 M.), sufi yang terkenal dengan kezuhudan dan kesalihannya, memandang rendah dunia tidak hanya secara rohani tapi juga secara fisik. Dunia ini laksana ular yang berbisa yang mesti dijauhi.11 Kaum sufi yang lain memandang zuhud sebagai sebuah sikap yang tidak dikusai dunia, bukannya memusuhi dunia. Sufyan al-Tsauri misalnya, berpendapat bahwa zuhud terhadap dunia adalah membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya memakan makanan kasar atau mengenakan jubah dari kain kasar.
  1. Kefakiran
Secara harfiah biasanya diartkan sebagai orang yang berajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.12
Jadi faqr (kefakiran) bukan orang yang tidak punya bekal hidup, tapi orang yang bersih atau kosong hatinya dari keinginan duniawi. Ini juga bermakna bahwa faqr (kefakiran) itu adalah orang yang hanya memperkaya rohani atau batinnya dengan Allah. Dalam pandangan al-Ghazali, Faqr (kefakiran) adalah hilangnya apa-apa yang dibutuhkan. Artinya ia benar-benar membutuhkan yang hilang itu. Seseorang, lanjut al-Ghazali, jika kehilangan apa-apa yang tidak ia butuhkan maka bukan faqr (kefakiran) namanya. Senada dengan al-Ghazali, ibn Qayyim juga memandang faqr sebagai senantiasa membutuhkan Allah dalam segala kedaan dan mengakui keunggulan segala apa yang ada di sisiNya dibanding dengan segala yang dimilikinya.
Kemuliaan maqam faqr ini, menurut al-Sarraj, jua seperti yang ditunjukkan oleh Ibrahim al-Khawwas (w. 291 H) bahwa kefakiran merupakan selendang kemuliaan, pakaian para Rasul, jilbab (penutup) orang-orang yang saleh, mahkota orang-orang yang bertakwa, hiasan orang-orang yang beriman, harta kaum `arifin dan benteng orang-orang yng taat. Kefakiran juga, lanjut al-Khawwas, mampu menghapus segala dosa dan keburukan, mengagungkan segala kebaikan, mengangkat derajat, menyampaikan hingga tujuan akhir, menjadi ridha bagi Yang Maha Memaksa (al-Jabbar), menjadi karamah para wali, ia juga merupakan lambang bagi orang-orang yang saleh.13
  1. Sabar
Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibnu Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan pendapat lain mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal. Ibnu Usman al-Hairi mengatakan, sabar adalah orang yang mampu memasung dirinya atas segala seuatu yng kurang menyenangkan.
Di kalangan para sufi, sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangan-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan Tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Menurut Ali bin Abi Thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaimana kepala yangkedidukannya lebih tinggi dari jasad. Hal ini menunjukkan bahwa sabar sangat memegang peranan penting dalam kehidupan Manusia.14
Dalam pandangan sufi, musuh terberat bagi orang-orang beriman ialah dorongan hawa nafsunya sendiri, yang setiap saat dapat menggoyahkan iman. Kesabaran merupakan kunci keberhasilan dalam meraih karunia Allah yang lebih besar, mendekatkan diri kepada-Nya, mendapatkan cinta-Nya, mengenal-Nya secara mendalam melalui hati sanbari, bahkan merasa bersatu dengan-Nya, karena tanpa kesabaran keberhasilan tidak mungkin dicapai. Nabi bersabda, “seorang hamba Allah tidak akan memperoleh suatu kebaikan, sementara harta kekayaan tidak lenyap dan badannya tidak pernah sakit, sebab jika Allah mencintai seorang hamba, Ia akan mengujinya dengan berbagai cobaan. Oleh karena itu, jika Allah mengujimu, maka bersabarlah.” (HR. Al-Tirmidzi).15
  1. Tawakal
Secara harfiah tawakal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakal adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah.16
Dalam konteks tasawuf, tawakkal merupakan refleksi dari tauhid yang murni, sebab jika masih ada ketakutan atau ketergantungan pada sesuatu mekhluk berarti ia masuk ke dalam syirik khafi (mempersekutukan Allah secara sembunyi).17 Al-Ghazali memandang bahwa tawakal terdiri atas tiga tingkatan. Pertama, menyerahkan diri kepada Allah, seperti seseorang yang menyerahkan kekuaasaan dalam satu urusan kepada wakilnya, setelah ia meyakini kebenaran, kejujuran, dan kesungghan wakilnya dalam menangani dalam urusan itu. Kedua, menyerahkan diri kepada Allah laksana mayat di tangan orang yang memandikannya. Orang yang berada pada tawakal tingkat pertama masih memperlihatkan harapan dan keinginan yang muncul dari dalam diriya, meskipun segala urusan telah diwakilkannya kepada Allah. Kemudian pada tawakal tingkat kedua, harapan dan keinginan masih terlihat, namun sudah jauh berkurang. Tawakal pada tingkat ketiga dipandang sebagai kepasrahan total kepada Allah.18
  1. Kerelaan
Secara harfiah, ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang qadha dan qadar Tuhan. Menerima qadha dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunya qadha dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qadha dan qadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya bala` (cobaan yang berat).
Manusia biasanya merasa sukar menerima keadaan-keadaan yang biasa menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat dan kedudukan, kematian dan lain-lain yang dapat mengurangi kesenangannya. Yang dapat bertahan dari berbagai cobaan itu hanyalah orang-orang yang telah memiliki sifat ridha. Selain itu ia juga rela berjuang atas jalan Allah, rela menghadapi segala kesukaran, rela membela kebenaran, rela berkorban, jiwa dan lainnya. Semua itu dipandang sebagai sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi bahkan dianggap sebagai ibadat semata-mata karena mengharapkan keridhaan Allah.19
Maqam ridha (kerelaan) ini, menurut al-Sarraj, merupakan akhir sari seluruh rangakaian maqamat. Selanjutnya maqamat ini membutuhkan ahwal orang-orang yang ahli meneliti kedaan-keadaan qalbu, mengkaji hal-hal yang ghaib, menggali rahasia-rahasia dengan cara dzikir yang tulus dan menemukan realitas-realitas (haqaiq) ahwal.20

  1. Pengertian Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari kata hal yang berarti keadaan atau kondisi spiritual. Hal sebagai sebuah kondisi yang singgah dalam kalbu merupakan efek dari peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa seorang hamba kapan pun ia mendekat kepada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah dan mujahadah, maka Allah akan memanifestasikan diri-Nya dalam kalbu hamba tersebut.
Mengenai hal tersebut, Ibnu al-Alaraby mempunyai pandangan tersendiri mengenai ahwal. Seperti yang dikutip oleh William C. Chittick dalam bukunya yang berjudul “The Sufi Path of Knowledge;Pengetahuan Spiritual Ibnu Al-Araby” memaknai dengan kondisi spiritual seseorang bersifat sementara, yang berbeda dengan maqamat memiliki sifat-sifat yang sama dengan keadaan kecuali kualitas yang dimiliki oleh jiwa. Keadaan-keadaan (ahwal) adalah pemberian Tuhan (anugerah) dan maqamat adalah dicapai melalui usaha. Seperti perkataan beliau: “Setiap maqam di jalan Tuhan merupakan hasil usaha, ada pula sebagian pemberrian, sementara keadaan merupakan pemberian, bukan sebagai hasil usaha, bukan pula sebagai sesuatu yang telah ditetapkan. Keadaan bagaikan pancaran cahaya. Ketika ia memancar, akan lenyap dikarenakan adanya sesuatu yang berlawanan, atau karena danya sesuatu yang serupa.Namun, jika ia diikuti oleh sesuatu yang serupa, sang pemiliknya akan kehilangan.”21
Pendapat yang lain juga dikemukakan oleh al-Sarraj. Beliau adalah sufi yang hidup lebih dahulu dibandingkan dengan al-Qusyairi dan al-Hujwiri. Beliau memandang bahwa ahwal adalah “apa-apa yang bersemayam dalam kalbu dengan sebab zikir yang tulus”. Ada yang mengatakan bahwa hal adalah zikir yang lirih (khaufy). Menurut al-Sarraj yang merujuk kepada al-Junaid yang mengatakan bahwa hal bertempat di dalam kalbu dan tidak kekal.22
Sedangakan Harun Nasution mengaartikan hal dengan keadaan mental seperti senang, sedih dan sebagainya. 23 sedangkan Syaikh Fadhalalla Haeri membedakan hal dengan maqam, yaitu dimana dan bagaimana dan mengartikan hal dengan sesuatu yang dapat dirasakan.24

  1. Macam-macam Ahwal
  1. Muraqabah
Secara literal, muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Sedangkan secara terminologi, berarti melestarikan pengamatan kepada Allah dengan hatinya. Abu Yahya Zakariya al-Ansari (926 H/1520 M), memaknai muraqabah secara bahasa dengan selalu memperhatikan sedangkan secara istilah dengan senantiasa memandang Tuhan dengan hati.25 Sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya, dengan penuh perasaan-Nya, Allah melihat dirinya dalam gerak dan diam-Nya.
Menurut al-Qusyairi, muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah, dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya. Manusia hanya akan sampai kepada muraqabah setelah setelah melakukan perhitungan dengan dirinya mengenai apa yang telah terjadi pada masa lampau, mempeerbaiki keadaanya di masa kini, tetap teguh di jalan yang benar, meperbaiki hubungannya dengan Allah sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah, taat kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru setelah ini semua dilakukan, Allah melihat perbuatannya dan mendengar perkataannya.26
Sedangkan menurut al-saraj adalah kesadaran rohani sang hamba bahwa Allah senantiasa mengawasinya.27 Menurut beliau, ahli muraqabah terbagi atas tiga tingkatan. Pertama, adalah tingkatan ibtida’. Kelompok ini seperti yang disebut Hasan ibn Ali al-Damaghani bahwa bagi sang hamba hendaknya senantiasa menjaga rahasia-rahasia hati karena Allah selalu mengawasi setiap apa yang tersirat dalam batin.
Tingkatan kedua dalam muraqabah ditujukan oleh ibn ‘Atha yang mengatakan, “Sebaik-baik kalian adalah yang senantiasa mengawasi Yang Haq dengan Yang Haq di dalam fana kepada selain yang haq dan senantiasa mengikuti Nabi Muhammad SAW , dalam perbuatan, akhlak dan adabnya. Artinya, sang hamba memiliki kesadaran penuh bahwa sebaik-baik pengawasan adalah pengawasan Allah, tidak sedikit pun terbesit adanya pengawasan yang lain, dan bagi hamba hendaknya ia lebur bersama-Nya.
Tingkatan ketiga dari ahli muqarabah adalah hal al-qubara (orang-orang agung), yakni mereka yang senantisa mengawasi Allah dan meminta kepada-Nya untuk menjaga merka dalam muqarabah, dan Allah sendiri sudah menjamin secara khusus hamba-hamba-Nya yang mulia itu untuk tidak mempercayakan mereka dan segala kondisi mereka kepada seseorang selain diri-Nya, dan hanya Allah saja yang melindungi mereka, seperti firman-Nya, “Dan Dia melindungi orang-orang yang shaleh.”(QS. Al-‘Araf:195).28
Tingkat pertama yang disebut al-Sarraj di atas, sama artinya dengan sebuah kepasrahan kepada kehendak Allah dan yakin bahwa Ia ada di mana-mana dan Ia mengetahui semua pikiran, perasaan, dan perbuatan sang hamba. Karenanya ia yakin bahwa Allah adalah “Pengawas segala sesuatu.” Sedang tingkat kedua dan ketiga berarti konsentrasi hati sang hamba hanya kepada Allah sepanjang hidupnya, hingga ia merasa Allah menjadi teman, pelindung dan sumber seluruh hidupnya.29
  1. Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan, atau cinta yang mendalam.30 Mahabbah secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan asal pengambilan katanya. Pertama, mahabbah berasal dari kata hibbah, yang berarti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan sebagaimana benih menjadi sumber tanaman. Kedua, berasal dari kata hub, yang berarti tempayan yang penuh dengan air yang tenang, sebab bila cinta telah memenuhi hati, tak ada lagi tempat bagi yang lain selain yang dicintainya. Ketiga, berasal dari kata hibb, yang artinya empat keping kayu penyangga poci air, karena seseorang pencinta sejati akan menerima apa saja yang dilakukan kekasihnya dengan suka hati. Keempat, berasal dari kata habb (bentuk jamak dari habbah), yang berarti relung hati tempat bersemayamnya cinta. Kelima, istilah mahabah juga berasal dari kata habab, yakni gelembung-gelembung air dan luapan-luapanya yang turun ketika hujan turun lebat. Hal ini karena cinta adalah luapan hati yang merindukan persatuan dengan kekasihnya.
Menurut al-Sarraj, dari segi tingkatannya ada 3 macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dalam Tuhan.31
Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari yang mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan.32
  1. Khauf
Khauf secara bahasa dapat diartikan dengan takut, sedangkan secara istilah diartikan dengan takut kepada Allah SWT.33 Takut kepada Allah adalah takut akan siksaan-Nya. Seperti yang diungkapkan oleh al-Qusyairi bahwa yang dinamakan dengan takut (khauf) adalah takut terhadap hukum-Nya. 34 takut kepada Allah meski hanya takut akan siksaNya merupakan tanda orang-orang yang beriman. Dalam firman Allah, “Maka takutlah kepada-Ku, jika kalian orang-orang yang beriman”. Khauf atau takut, menurut al-Qusyairi adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan kenyataan itu hanya terjadi di masa datang.
Senada dengan al-Qusyairi, al-Ghazali juga memandang khauf sebagai hati yang sakit dan terbakar karena adanya bayangan atau imajinasi tentang sesuatu yang dibenci di masa datang. Beliau pun juga berkata, “ketahuilah bahwa hakikat khauf adalah penderitaan hari yang disebabkan karena mewaspadai kemungkinan terjadinya keburukan di masa depan, kadang-kadang terjadi karena mengalirnya dosa-dosa, kadang-kadang karena takut kepada Allah SWT dengan mengetahui sifat-sifat-Nya tentu saja akan menimbulkan rasa takut, inilah yang paling baik, sebab barangsiapa yang mengetahui Allah, niscaya dia akan takut pada-Nya, Allah berfirman; “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (yang mengetahui kekuasaan dan kebesaran Allah).35
Khauf adalah tangisan hati seseorang pada saat mengira-ngira akibat apa akan menimpa karena perbuatan buruk yang pernah dilakukan, sehingga jiwanya tidak lagi berkeinginan melakukan perbuatan yang menyimpang atau dosa, bahkan dia tidak lagi mendekati lingkungan-lingkunan keraguan (keraguan akan kekuasaan Tuhan) yang dapat menjerumuskannya ke jurang kenistaan dan kerusakan. Hal inilah yang membuat seorang sufi dengan khaufnya akan naik menjadi orang yang berhias dengan paling mulianya hiasan yang digunakan oleh para muqarabun (orang-orang yang dekat dengan Tuhannya). Ketika itulah gejala-gejala khauf akan berpindah dari dunia jasad menuju dunia ruh; di mana dia akan merasakan kesedihan-kesedihan yang tidak diketahui melainkan orang-orang yang berhati jernih.36
  1. Raja’
Raja’ secara bahasa adalah pengharapan. Secara istilah raja’ adalah harapan untuk mendapatkan ampunan, kasih sayang yang akhirnya bisa bertemu dengan Allah.37 Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan mata keindahan. Harapan adalah kedekatan hati kepada kemurahan Tuhan. Harapan berarti melihat pada kasih sayang Allah Yang Maha Meliputi. Syekh Ahmad Zaruq berkata dalam mendefinisikan raja’ adalah kesenangan terhadap keutamaan Allah Swt. dengan melakukan perbuatan nyata terhadap semua, kalau tidak maka itualah penipuan. Allah senantiasa menyuruh hamba-Nya untuk meohon dan melarang kita berputus asa terhadap rahmat-Nya.
Al-Ghazali juga memandang raja’ sebagai senagnya hati karena menunggu Sang Kekasih datang kepadanya. Menurut al-Ghazali, khauf dan raja’ adalah kata yang senantiasa bergandengan satu sama lain dan tidak akan putus, jika terputus bukan khauf dan raja’ namanya. Sementara Abu Ali al-Rudzbari, secara alegoris (perbandingan) memandang khauf dan raja’ seperti sayap burung. Manakala kedua belah sayap itu seimbang, si burung pun akan terbang dengan sempurna dan seimbang. Namun jika salah satunya kurang berfungsi, akan menjadikan si burung kehilangn kemampuannya untuk terbang. Apabila harap dan takut tidak ada, maka si burung akan terlempar ke jurang kematian.38
Secara garis besar raja’ berarti suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambaNya yang saleh. Menurut al-Sarraj, raja’ dibagi atas tiga bagian; raja’ bersama Allah, raja’ di dalam luasnya rahmat Allah dan raja’ dalam pahala Allah. Raja’ dalam luasnya rahmat dan pahala Allah berarti sang hamba atau sang murid ketika Allah menyebut-nyebut pahalanya, maka ia mengharapkannya. Ia mengetahui bahwa kemuliaan, keutamaan, dan kemurahan merupakan sifat Allah, kemudian hatinya menjadi senang dan mengharap Allah member kemuliaan dan keutamaan-Nya. Sedang sang hamba yang berharap (raja’) bersama Allah adalah ia yang sudah mencapai hakikat raja’. Ia tidak mengharap apaun kecuali Allah semata. Tentang ini, al-Syibli mengatakan bahwa raja’ adalah engkau mengharapkan-Nya agar ia tidak memutuskanmu dari-Nya.39

  1. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimulkana bahwa beberapa sikap yang termasuk dalam maqamat itu sebenarnya merupakan akhlak yang mulia. Semua itu dilakukan oleh seorang sufi setelah lebih dahulu membersihkan dirinya dengan bertaubat dan menghiasinya dengan akhlak yang mulia. Sedangkan ahwal itu salah satu jalan menuju Tuhan secara ruhaniyyah yakni jalan menuju Tuhan yang berkenaan dengan hati atau ahwal al qalb yang pada dasarnya adalah memperbaiki hati dan menyembuhkannya dari penyakit-penyakit, untuk kemudian diganti dengan sifat-sifat kesempurnaan.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa Maqamat dan Ahwal merupakan suatu jalan untuk menemukan tujuan dari tasawuf, yakni berpindahnya jiwa yang hina dan rendah menuju jiwa yang paling tinggi dan tenang serta kembali kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Zainul, Menembus Tirai Kesendirian-Nya: Mengurai Maqamat dan Ahwal dalam Tradisi Sufi, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pres, 2009.
C. Chittick, William, The Sufi Path of Knowledge; Pengetahuan Spiritual Ibnu Al-Araby, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001.
Haeri, Fadhalalla, Jenjang-jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Yunus, Mahmud, Kamus Bahasa Arab, Jakarta: Hidakarya, 1990.
Azra, Azyumardi, Ensiklopedi Tasawuf, Bandung: Angkasa, 2008.
Qadir Isa, Abdul, Cetak Biru Tasawuf; Spiritualitas Ideal dalam Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2007.
1 Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya Mengurai Maqamat dan Ahwal dalam Tradisi Sufi (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 01-02.

2 Ibid., hlm. 03.

3 Ibid., hlm. 31-33.

4 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pres, 2009), hlm. 194.

5 Ibid., hlm. 193.

6 Namun al-Anshari, merupakan sufi yang berbeda dengan pandangan ini. menurutnya taubat menempati maqam yang kedua. Lihat, Media Zainul Bahri, Menembus Tirai., hlm. 45

7 Abuddin Nata, Akhlak., hlm. 198.

8 Media Zainul Bahri, Menembus Tirai., hlm. 48.

9 Ibid., hlm. 49-50.

10 Pendiri tarekat Syadziliyah. Lihat, Media Zainul Bahri, Menembus Tirai., hlm. 58.

11 Ibid., hlm. 58.

12 Abuddin Nata, Akhlak ., hlm. 200.

13 Media Zainul Bahri, Menembus Tirai., hlm. 63-65.

14 Abuddin Nata, Akhlak., hlm. 200-201.

15 Media Zainul Bahri, Menembus Tirai., hlm. 67-68.


16 Abuddin Nata, Akhlak., hlm. 202.

17 Media Zainul Bahri, Menembus Tirai., hlm. 73.

18 Ibid., 75.

19 Abuddin Nata, Akhlak., hlm. 203-204.

20 Media Zainul Bahri, Menembus Tirai., hlm. 82-83.


21 William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge;Pengetahuan Spiritual Ibnu Al-Araby (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001), hlm. 102.

22 Media Zainul Bahri, Menembus Tirai., hlm. 39.

23 Abuddin Nasa, Akhlak., hlm. 204.

24 Syaikh Fadhalalla Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 57-58.

25 Media Zainul Bahri, Menembus Tirai., hlm. 83.

26 Ibid.,

27 Ibid., hlm. 84.

28 Ibid., hlm. 85.

29 Media Zainul Bahri, Menembus Tirai., hlm. 86.

30 Lihat Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab (Jakarta: Hidakarya, 1990), hlm. 96.

31 Abudidn Nata, Akhlak Tasawuf.,

32 Ibid., hal. 210.

33 Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawu (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. 698.

34 Media Zainul Bahri, Menembus Tirai., hlm. 95.

35 Syeikh Abdul Qadir Isa, Cetak Biru Tasawuf; Spiritualitas Ideal dalam Isla (Jakarta: Ciputat Press, 2007), hlm. 184.

36 Ibid., 184-185.

37 Azyumardi Azra, Ensiklopedi., hal. 993.

38 Media Zainul Bahri, Menembus Tirai., hlm. 101.

39 Ibid., 102-103.

Ditulis Oleh : IMM Tarbiyah ~IMM Komisariat Dakwah

IMM.Dakwah Anda sedang membaca artikel berjudul MAQOMAT DAN AHWAL.

Ditulis oleh IMM Komisariat Dakwah.

Silahkan manfaatkan dengan bijak.

Blog, Updated at: 17.56